Selasa, 21 Februari 2023

Bila Mesin Berkuasa, Apalah Daya Manusia?

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berupaya berfikir kritis dengan berbagai metode berfikir sesuai konteknya. Seperti Cara berfikir nya Herbert Marcuse, Erich from, ia merupakan sebuah nama  yang cukup tenar sejak revolusi Industri kapitalis ramai diperbincangkan dalam kancah organisasi mahasiswa. 

Bagi pemahaman penulis sendiri bukan  hanya sekedar teori kritis yang mengkritisi secara habis - habisan terhadap positisme, tetapi titik teorinya pun tidak terpisahkan antara teori dan praktisnya. Penulis analogikan sebagaimana emansipatoris. 

Teori ini dibangun atas dasar semangat dalam mewujudkan sistem sosial yang berkeadilan.  Hal demikian bukan hal yang mudah dilakukan oleh Erich dan Marcuse, karena saat itu terjadi konflik Pemikiran diantara mereka berdua. 


Erich Fromm sendiri, sebagaimana catatan Nur Iman Subono dalam buku Erich Fromm: Psikologi Sosial Materialis yang Humanis (2010), kemudian menjadi nama yang tersisihkan dalam mazhab tersebut.


Pada saat konflik tersebut Herbert Marcuse mendapat dukungan dari madzhab Fankfurt lainnya, hal itu bermula saat Fromm mengkritik berbagai konsep penting dalam pemikiran Sigmund Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Kritikan Fromm dianggap salah kaprah, dan konflik di antara mereka meluas, bukan hanya bersifat intelektual tapi juga politis.

Maka bisa disimpulkan bahwa diantara keduanya terlalu berambisi untuk memberikan sintesis antara marxisme dan freudian. Kendati kemudian di antara Fromm dan Marcuse terdapat konfliktual, ada titik temu di antara keduanya, yakni kritik mereka terhadap masyarakat industrial atau kapitalisme. 

Titik Temunya dimana?

Silahkan isi kolom komentar bagi yang ingin tahu.


Kamis, 26 Januari 2023

Lebih Hangat dari Pelukan


 1.  


Aku melihatmu pergi di persimpangan jalan itu. Pada senja yang teduh dengan risau angin menghembus rambutku. Aku tak mengira kau akan pergi secepat itu. Lengan senja, aku berharap menjadi pendamping yang menemanimu sepanjang usia.


2.  


Tak ada lagi yang tersisa dari hidupku. Aku melihat berbaris Akasia dengan ranting yang masih sama pada hari-hari sebelum kau pergi. Kepergian adalah cara lain untuk menemukan yang lebih kuat dari sebuah pelukan masa lalu.


3.  


Langit di kepalaku seperti kata-kata yang kutulis ini. Aku menulis kau sebagai kata-kata biru yang mendampingiku sepanjang perjalanan. Tetapi takdir lebih kuat dari apa yang kuinginkan. Kini kau gelombang yang pandai menentukan arahmu sendiri.


4.  


Aku mengutuk diriku sendiri. Aku ingin jadi batu yang diam sepanjang musim. Aku ingin jadi burung yang bebas terbang tanpa ada rasa yang mengikat. Aku ingin tidak jadi apa pun sebagaimana aku saat ini.


5.  


Leluconmu waktu dulu menyembunyikan dirinya dalam diriku. Ada mata dalam diriku. Ada kau dalam seluruh hariku. Seringkali kita bertengkar-seolah seperti sepasang pelayan kafe tua yang kita jumpai di jalan yang sama ini.


6.  


Anak-anak burung mengibaskan ekor di kaca jendela saat kiat bangun dan melihat semua masih sama. Kecuali masa lalu. Pernah kita berjanji untuk senantiasa menyentuhkan kaki di masa kini sebagai perihal bahwa masa lalu sesungguhnya sudah tiada lagi.


7.  


Kita pernah sepakat untuk tak ada orang yang menyakiti kita. Sebab kita sudah lebih dahulu berjanji lebih mencintai diri kita dari hal-hal yang membuat kita rapuh dan menua.


8.  


Kita pernah seperti ini. Gelisah untuk tidak pernah melakukan apa pun. Hanya duduk di depan cermin dan membiarkan kesunyian melahap habis diri kita. sambil sesekali membaca selebaran dan menertawakan diri sendiri.


9.  


Duduk di atas kursi. Kita berdua. Kau memalingkan wajah. Kita mengecup hari yang sama dengan rasa yang berbeda. Tidak ada yang benar-benar mencintai dengan sungguh benar-benar. Sebab kita meyakini semua orang egois pada dirinya sendiri.


10.


Pernah kita ke pantai. Kau ingin jadi pasir yang diam membisu aku ingin jadi air laut yang menghabisi bagian dirimu satu demi satu. Kita menciptakan banyak jejak di sana sampai kita lupa hari sudah tengah malam dengan segala kepedihan dan rasa sakit.


11.


Di rumah kita mengurus diri kita sendiri. Kita tidak ingin lebih seperti orang-orang negara. Dalam diri mereka ada senjata yang setiap hari dapat membinasakan orang-orang yang mereka cintai.


12.


Hingga sore ini aku mengutuk diriku sendiri. Kau pergi untuk tidak pernah kembali. Semua yang pernah menumbuh pada akhirnya lenyap seperti rintik embun di siang hari.


13.


Seorang tukang becak melintasi persimpangan jalan ini. Ia menyanyikan lagu yang dulu pernah kunyanyikan padamu. Aku terhanyut ke dalamnya dan membayangkan kita bertengkar hingga bercak-bercak darah tumpah ke pipi tukang becak itu.


14.


Tapi aku menyadari persimpangan jalan ini akan menjadi rumah bagi setiap kepulanganku. Akan menjadi puisi yang kutulis melebihi puisi Kahlil Gibran dan Dorothea Rosa Herliany. Kau akan tertulis di sana sebagai kalimat yang tak pernah dibaca oleh siapa pun.


15.


Hujan tetiba turun dan ranting Akasia berceceran dari pepohonannya. Anak-anak berhamburan di jalan. Menikmati rinai hujan tanpa beban apa pun. Aku masih berdiri di persimpangan jalan ini untuk membiarkan semua tentangmu lenyap dari dalam kepalaku.


16.


Aku membayangkan tidak ada hal yang ingin kuratapi. Hujan masih bening. Persimpangan jalan ini masih kuat. Tanah masih cokelat. Aku masih ingin terus hidup.


17.


Aku ingin hidup dengan diriku sendiri. Tidak peduli siapapun dia. Aku tidak ingin jatuh pada lubang yang sama meski dengan orang yang berbeda.


18.


Aku ingin menjadi kuat dan meraih sebanyak mungkin yang ku ingin. Tetapi aku tidak ingin kau terus ada dalam diriku. Kau akan tumbuh pada pelukan-pelukan yang lain. Sementara aku pada pelukan diriku sendiri.


19.


Ingatanku tidak harus memberikan kembali padaku banyak hal tentangmu. Aku akan menulis sebanyak mungkin puisi. Puisi adalah hutan. Kata-kata adalah pepohonan. Aku menciptakan duniaku di sana dengan caraku sendiri.


20.


Sepenuhnya tidak ada yang lenyap dalam diriku. Aku hanya ingin membuat semuanya mengalir. Mengalir di dalam waktu. Hingga tiba waktu aku benar-benar kembali pada ada yang mengadakan.


21.


Hujan sudah reda dan hari sudah malam. Aku kembali. Tak ada yang menjemputku di depan pintu. Di dalam kamar aku menyalakan lampu. Pada mataku cahaya lampu seperti menghidupkan kesepian yang dengan cara apa pun tak bisa ku padamkan.


22.


Kesepian itu menumbuhkan ingatan di kepalaku. Ada ingatan kita di sana; yang lebih kuat dari pelukan bukan kepergianmu tapi jejak yang pernah tersusun. Dan sungguh, aku tak pernah tahu bagaimana caraku menghapusnya.


23.


Apakah kau juga begitu?

Sabtu, 07 Januari 2023

Dunia yang Sakit

    Menulis sedikit kesimpulan tentang kebenaran dan validitas universal. tidakkah memisahkan dua hal ini salah?. jika salah, Bagaimana, dan dari sudut pandang apa kesalahan ini bisa terjadi? saya terasa berat mengandaikan sebuah prakonsep atau skematisasi awal tentang hubungan antara subyek dan kebenaran yang akan diketahuinya.

    Sebenarnya, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang seharusnya digali; Panggilan ini pada dasarnya adalah bahwa kebenaran dapat diteruskan kepada siapa saja. Namun, Kita kecenderungan lupa bahwa semakin pikiran manusia melampaui aktivitas teknis, semakin ia tidak mengacu pada manusia sebagai faktor yang tidak menentukan untuk melakukan intervensi.

    Di sisi lain, kebenaran ini lahir di sebuah dunia yang mengabaikan urgensi refleksi ( Pikiran ). Dunia kita ini adalah sebuah Dunia yang sakit, yang berarti bahwa ketika memperjauangkan sebuah kesatuan dalam dunia ini kita justru kehilangan kesatuan yang sesungguhnya.

      Hal semacam itu dapat kita ketahui bersamana tentang Dunia yang sakit diantaranya adalah ; Pertama, Sosialisai Kehidupan yang semakin gencar : manusia dengan begitu saja dianggap sebagai agen - agen, diregistrasi, di daftar, dan manusia mengakhiri hidup dengan mengumpulkan kartu identitasnya sendiri. Kedua, Meluasnya kekuasaan Negara : yang mirip dengan mata atau mata - mata yang mengincar kita semua. Ketiga, Dunia ini kehilangan kesatuan yang sesungguhnya, mungkin karena privasi, kesetiakawanan, kreativitas, refleksi, dan Imajinasi semakin dikesampingkan.

    Oleh sebab itu, Urgen kiranya untuk berefleksi dan merefleksikan refleksi untuk menerangi urgensi ini yang menggerakkan refleksi, serta untuk menunjukkan bahwa urgensi ini jika dipenuhi akan melampaui penentangan terhadap ego empiris dan ego universal.

Mengapa hal demikian terjadi? beri aku berbicara kembali dengan misteri selanjutnya.

Sabtu, 12 November 2022

BARISAN INTELEKTUAL versus BARISAN PECUNDANG


(Berdirilah teguh bersamaku meneladani para pendiri dan ulama dibarisan intelektual progresif) 


"Mari berdiri teguh, masuk dalam barisan ideologis, dan berafiliasi kuat dalam faksi intelektual. Jangan mau dikungkung dan dikerdilkan dalam kepentingan senioritas & politik sesaat. Pertarungan politik selalu melelahkan dan akhirnya membodohkan, karena energimu habis hanya untuk kekuasaan sesaat. Sebagai kader awal yang memulai proses harus ada energi yang kuat dan sibuk untuk membaca, diskusi, aksi, refleksi, menulis, dan sekian banyak kegiatan produktif. Ciptakan ruang produksi pengetahuan yang massif, konsisten, radikal, progresif. Semua dinamika ini adalah bagian dari proses. Maka, walaupun mereka sedang berada dalam barisan faksi politik oportunis & pragmatis, mereka tetaplah sahabatmu!. Sahabat - sahabat sekalian bersumpahlah bahwa: Aku tidak pernah tunduk pada kekuasaan, Aku hanya tunduk pada kebenaran" ! 


Sharing ide ini kami lakukan di ruang refleksi menjelang dini bersama sahabat (K....i dan K...n) berpotensi, namun terobang-ambing badai pertarungan politik sesaat yang menyesatkan dan membodohkan! Jika tidak punya prinsip dan pendirian yang kuat, niscaya akan menjadi kader yang tercecer, tersisih, dan terbuang! Berorganisasi itu tidak hanya bergerombol dan bekontestasi merebut kekuasaan dalam level apapun bung! Bersiaplah untuk berada di barisan yang menang tanpa jumawa, besar kepala dan membusungkan dada; Namun bersiaplah juga jika berada di barisan kalah tanpa depresi, menyakiti diri, dan kehilangan orientasi, apalagi berkhianat keluar dari PMII. 


Sahabat harus berontak jika dikungkung dan dikerdilkan. Seolah-olah dikader, dididik, dicarikan jaringan, dibuai mimpi tak jelas tentang kesuksesan. Yang ada sesungguhnya dikerdilkan, dibentuk pemikiran picik, dilarang bertemu senior tertentu. Jelas! ini bukan KADERISASI tetapi KOOPTASI. Yang fatal adalah bahwa barisan pragmatis dan picik tersebut dengan enteng tanpa beban memutus silaturahmi ke banyak orang dan menutup diri untuk berelasi dengan sekian banyak jaringan intelektual ideologis. Mereka merasa menang dengan berkuasa! namun sesungguhnya mereka orang yang kalah dalam memegang nilai. Ber-organisasi-lah dengan baik di PMII, yang didasari nilai, etika, moral, pengetahuan dan integritas, janganlah bergerombol di PMII seperti kawanan anjing berlari memangsa rusa, mulutnya berdarah dan berbau mimis hanya untuk urusan perut, atau preman perampok tanpa moral merangsek rumah dan menjarah isinya. Sahabat sekalian, mari junjung nilai yang terkandung dalam perisai PMII bukan menginjak-injak perisai PMII. 

Berorganisasilah di PMII dengan penuh dedikasi, jangan pernah memutus silaturahmi dengan siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Aku, kita, kalian, sahabat-sahabat, dalam berproses itu perlu bereksistensi dalam pengetahuan, namun perlu nafas panjang dan daya tahan tanpa batas. Kesadaran kritis sahabat untuk berproses secara intelektual adalah tamparan keras pada diri sahabat sendiri. Segera mentas, keluar, dan lari sejauh mungkin, jika sahabat terseret atau diseret masuk dalam kubangan keruh hiruk pikuk pragmatisme dan aktivisme, jangan terserak dalam comberan politik oportunis yang memuakkan. 


Mulai saat ini dan seterusnya dewasalah dalam berorganisasi, hikmatlah dalam memegang nilai dan perisasi PMII. Camkan! Berorganisasi tanpa faksi! Maka, teruslah melakukan konsolidasi gagasan!  Berorganisasi tanpa kooptasi! Maka, teruslah belajar untuk berposisi egalitarian. Junjung setinggi-tingginya cita-cita dan visi perjuangan para pendiri Indonesia, para pendiri Nahdlatul Ulama, dan para pendiri PMII. 


Ambilah pelajaran dari ceritaku ini, 


Salam tadzim! 


Ruang Refleksi, 12/November/2022

Rabu, 26 Oktober 2022

Belum Cukup Iman Untuk jadi Atheis: Cerita pertama


Tulisan ini merupakan pengalaman subyektif saya, jadi jangan tersinggung dan jangan baper barang kali anda pernah mengintrogasi saya sebagai Mahasiswaa filsafat.

Saat pertamakali menyentuh form pendaftaran masuk kuliah, sama sekali tidak mengetahui prodi apa saja yang tersedia di kampus tersebut, namun optimis saja karena niatku adalah melanjutkan studi yang lebih tinggi, jadi saya akui saya tidak jelas tujuannya apa.

Singkat cerita, lantaran jurusa yang aku pilih adalah jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, banyak pertanyaan aneh dari orang - orang yang ditujukan pada saya. Sejujurnya dengan pertanyaan aneh tersebut saya sudah kenyang.

Atas rasa kenyang itulah, saya merasa punya hak untuk memetakan pertanyaan-pertanyaan yang saya terima menjadi tiga tipe model pertanyaan. Tipe pertanyaan pertama, "Ambil jurusan apa? Hah... filsafat? Nanti kalau sudah lulus mau kerja apa?" Modyar. Itu pertanyaan standar dari bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas atau mbak-mbak yang tidak pernah bersentuhan dengan filsafat. Jawaban saya, ya, standar pula, karena tidak mungkin saya menceritakan sejarah filsafat dari zaman Yunani Klasik pra-Socrates sampai Postmodern, kan (lagian saya juga gak hafal sejarahnya).

Model pertanyaan kedua datang dari ruang lingkup akademis, katakanlah mahasiswa, yang memandang sebelah mata kuliah filsafat. Begini biasanya pertanyaannya, "Kak, gak mumet ya belajar filsafat?" Sebenarnya, kalau ditelusuri, pertanyaan ini timbul dari pengalaman buruk mereka saat masuk di kelas filsafat. Apalagi kalau mata kuliahnya ontologi. Mending kalau mata kuliah filsafat umum atau filsafat ilmu. Klaim mereka tentang kemumetan filsafat diawali dari paradigma bahwa filsafat tidak ada kaitannya dengan jurusan yang selama ini mereka tekuni.

Menghadapi jenis pertanyaan seperti ini, saya tidak akan menjawab dengan menjelaskan apa tujuan belajar filsafat. Tapi saya jawab dengan balik bertanya, "Belajar apa sih yang gak mumet?" Biasanya, mereka manggut-manggut tanda setuju. Iya... ya, namanya belajar pasti ya mumet, bukan hanya belajar filsafat thok.

Pertanyaan yang ketiga meningkat satu derajat lebih tinggi. Pertanyaan seperti ini berasal dari penilaian sepihak, generalisasi yang berlebihan, atau klaim yang tidak didasari pada fakta-data empiris yang kuat dan proses rasionalisasi yang mendalam. Pertanyaan adalah, "Kamu gak khawatir keblinger masuk jurusan filsafat?" hemm. Kalau menghadapi pertanyaan pertama dan kedua, saya masih bisa adem ayem, tapi yang ini? Hemm... sepertinya dari kepala saya sudah mulai muncul satu tanduk, macam badak bercula satu.

Orang-orang yang mengajukan pertanyaan seperti ini mungkin saja melihat beberapa teman mereka yang, maaf, tidak menjalankan ritual keagamaan dengan rajin atau alpa sama sekali.

Atas dasar itulah mereka mengkambing hitamkan filsafat. Dengan agak sinis saya menjawab "Temen saya anak fakultas Keislaman, gak pernah belajar filsafat juga gak shalat kok, gak puasa juga". Sambil menjawab begitu seraya membatin, "Saya anak filsafat, walaupun gak rajin tepat waktu, tapi gak pernah bolong-bolong".

Tiga model pertanyaan yang saya cantumkan di atas, bagi saya adalah konsekuensi logis atas pilihan saya. Mungkin bagi mereka, filsafat memang bukan hal yang sembarangan. Sembarangan dalam hal ini bukan dalam artian mewah atau wah, tapi lebih pada konotasi negatif. Filsafat dipandang sebagai sesuatu yang asing, menakutkan, tidak jelas, tidak ada gunanya, membuang tenaga, dan oleh karena itu, tidak perlu susah payah mempelajarinya.

Penilaian semacam ini datang dari mereka yang tidak mau membuka hati untuk filsafat. Kerumitan yang menempel pada filsafat mendukung pendapat mereka. Saya akui belajar filsafat memang rumit, tapi dalam kerumitan itu saya justru jatuh hati. Banyak teman saya yang tidak dari jurusan filsafat juga menyatakan hal yang demikian. Alergi pada filsafat ada pada tahap awal pengenalan. Tapi begitu seseorang masuk kedalamnya, memahami dan kemudian menemukan apa yang ada dalam filsafat, paling tidak, klaim-klaim negatif itu akan memudar. Karena urusan suka atau tidak suka terhadap suatu objek keilmuan itu subjektif, maka orang yang sudah memahami filsafat tidak lantas fanatik terhadapnya.

Untuk pertanyaan pertama, itu adalah pertanyaan yang sifatnya mekanistik dan menyangkut cara pandang umum masyarakat kita. Tentu tidak hanya tertuju pada anak jurusan filsafat, pertanyaan itu saya yakin akan ditujukan pada mahasiswa segala macam jurusan. Bagi masyarakat kita, tujuan kuliah, ya, untuk memperoleh pekerjaan yang mapan. Paling tidak berada pada naungan institusi pemerintahan. Ini jelas penderitaan bagi mahasiswa filsafat, lha wong memang selama ini tidak ada institusi khusus yang menampung mahasiswa jebolan filsafat.

Tapi saya pribadi tidak khawatir. Pada kenyataannya, pengangguran juga tidak hanya berasal dari alumni filsafat. Banyak dari alumni-alumni jurusan lain yang juga nganggur. Fakta tambahannya, teman-teman seangkatan saya juga tidak ada yang nganggur, kok, semuanya bekerja di jalan yang halal.

Jawaban untuk pertanyaan kedua dan ketiga bisa dijawab dengan filosofis. Pada level tertentu, berfilsafat bisa diartikan berpikir. Orang-orang yang mengklaim bahwa belajar filsafat itu mumet atau filsafat itu jadi membuat orang keblinger, tentu telah melakukan proses berpikir sebelum mengeluarkan statement tersebut.

Untuk merespon pertanyaan kedua, jauh-jauh hari saya sudah mengakui bahwa belajar filsafat itu memang mumet. Tapi kalau disuruh memilih, saya akan dengan senang hati memilih filsafat daripada belajar fisika, kimia, atau ilmu-ilmu eksakta yang lain. Jadi mumet itu bukan masalah subjek keilmuan tertentu, tapi tentang hal yang selama ini kita geluti.

Khusus pertanyaan ketiga yang mengklaim anak filsafat itu aneh-aneh, saya biasanya akan bertanya lebih lanjut mengenai dasar klaim itu. Masalah tidak shalat dan tidak puasa, saya akan menyatakan itu sama sekali bukan efek dari filsafat. Tapi karena orang malas saja, malas untuk beribadah. Saya rasa sebagian besar pernah merasakan malas untuk beribadah. Silahkan tanya pada diri sendiri kalau tidak percaya.

Bagi kalangan mahasiswa jurusan lain, klaim aneh-aneh mahasiwa filsafat itu didapat dari beberapa filsuf yang sebagian pernyataannya fenomenal. Saking fenomenalnya, pernyataan tersebut digunakan begitu saja tanpa diteliti sebab kemunculannya. Kita bisa menyebut misalnya Nietzsche dengan Tuhan telah mati, Karl Marx dengan Agama adalah candu, Auguste Comte yang mengatakan bahwa Agama hanya bahan bicaraan Abad Pertengahan atau kalau dalam Islam ada Ar-Razi yang menyatakan Nabi tidak perlu diturunkan. 

Pernyataan para tokoh itu yang menjadikan mereka merasa benar mengklaim filsasat perlu dijauhi. Memang, mereka benar dalam arti bahwa tokoh-tokoh yang saya sebut punya pendapat yang demikian. Namun, klaim ini sangat terbuka untuk dipertanyakan. Misalnya, sekali saja mereka bertanya, Apakah benar anak filsafat sebegitunya itu? Ini merupakan contoh pertanyaan lanjutan jika mereka tidak mau menyelami pemikiran para tokoh yang saya sebut tadi. Bersambung.....

Posko 1 P2M Aengbaja Kenek Bluto. 

Tuhan. Aku Ingin Pulang

 Ketika Lengah dan segala rasa payah mulai terasa, aku dan mungkin mereka teman - temanku merasakan lelahnya dalam menjalani suatu prasyarat lulus kuliah jenjang S1.


Disaat aku duduk tersungkur satu menit saja, pikiranku berkeliaran merefleksikan masa yang berlalu entah kemana arahnya sehingga menemukan titik kebingungan terus - menerus bahkan saat ini akupun bercerita lewat tulisan dalam keadaan bingung sama sekali.


Mengapa hal demikian seringkali terjadi pada saya? Saya memaklumi lantaran nasib saya sebatangkara dan tak punya apa - apa. Ilmu sedikit, keluarga tidak punya, bekal pun tak punya. Saya merenungi nasib yang setiap harinya serba numpang pada teman - teman di posko Praktek Pemberdayaan Masyarakat, yang disingkat P2M.


Sungguh kelucuan terbesar bagi saya pribadi, Sebagai anggota Praktek Pemberdayaan Masyarakat, mengapa tidak.? boro - boro memperdayakan masyarakat sementara nasib sendiri sedang tidak berdaya atau lebih tepatnya tidak baik - baik saja.


Hal demikian yang sering menjadi momok dalam aktivitas saya, sehingga bagi saya ini merupakan tantangan paling besar bagi saya. Sebagaimana rangkaian kata yang pernah aku baca, " tantangan terbesar dalam hidup adalah pikiran kita sendiri ".11


Kembali lagi pada tulisan ini dimulai, Aku ingin pulang!

Ya. Aku ingin pulang tapi entah pulang kemana? Aku sering kali setiap selesai shalat bermunajat kepada sang khaliq, namun di sisi lain pikiranku melayang ke arah nasib sebatangkara. Mungkin bagi kebanyakan orang memahami sebatangkara ialah tidak punya ibu dan bapak, tapi bagi saya, tak punya ibu dan bapak sekaligus tempat tinggal.


Dalam hati kecil saya berkata itu tak penting aku miliki juga rasanya tak mungkin aku bisa wujudkan diwaktu sekarang ini yang masih aktif dan fokus pada jenjang karirku, yaitu sebagai sarjana agama nantinya ketika selesai di wisuda oleh kampus tercinta Institud Disorat Islamiah Al - amien Prenduan.


Mangapa itu tidak penting? Karena aku masih diterima oleh banyak orang dimana ingin aku tinggal, selama saya masih punya bekal, apa itu? Akhlak yang baik bagi sesama serta pada alam sekitarnya.


Disini aku berubah tujuan pulang, Aku ingin pulang kepada Rahmat allah SWT yang sesungguhnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu athaillah al - askandari. " Jangan bergantung pada amal perbuatan, tapi bergantunglah pada rahmatNya". Baginya adalah hakikat dimana kita benar - benar melihat tempat kita yang sesungguhnya.!


Kendati hal demikian adalah yang seharusnya kita tahu dan kita tuju, namun hati kita masih bagai cermin yang belum bisa pantulkan cahaya tuhan sebagaimana mestinya. Hati ini masih banyak percikan kotor yang menempel pada hati kita yang sekian hari kian bertambah sehingga hati ini tak dapat melihat sang khaliq, yaitu Allah SWT.

Senin, 19 September 2022

Rekonstruksi Pemikiran Teologi Islam : Pengantar terhadap Saripati Pemikiran Hassan Hanafi


Kalangan Akademisi menyebut "Ilmu kalam" yang telah menjadi darah - daging bagi mayoritas ummat Islam, Hassan Hanafi berpendapat bahwa pemikiran ilmu kalam tersebut memiliki titik kelemahan yang cukup mendasar, karena menurutnya tidak memiliki bukti secara "Ilmiah" maupun "filosofis".

Penjelasan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah adalah bahwa metode teologi dinilai tidak mampu mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan, yang dimaksud Hassan Hanafi tidak dapat dibuktika secara filosofis bahwa teologi lebih berisi ide-ide kosong dan melangit, bukan ide-ide konkret yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata sehingga teologi menjadi asing dari dirinya sendiri dan dari masyarakat. Faktanya, Doktrinasi teologi yang bersifat Dialektis cenderung tertuju pada ketahanan menjaga kemurnian yang bersifat teosentris, tanpa menduskusikan masalah - masalah yang berhubungan dengan watak sosial serta sejarah manusia yang bersifat antroposentris. Selain itu, Rumusan - rumusan teologi juga sering dipergunakan sebagai persembahan pada penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di muka Bumi. Konsekuensinya adalah adanya kecenderungan untuk menjadikan alat legitimasi bagi Status quo dan bukan sebagai wahana pembebas dan penggerak manusia pada kemandirian dan kesadaran. Atas dasar inilah Hassan Hanafi menyatakan bahwa teologi Asy'ari menjadi penyebab kemunduran islam, di samping sufisme.

Dengan demikian pula secara praktis, Teologi tidak lagi sebagai pandangan hidup secara utuh, penyusunan rumusan Teologi tanpa dasar kesadaran murni serta nilai - nilai tindakan manusia, Sehingga melahirkan kepribadian ganda (split personality) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis ummat islam yang pada akhirnya melahirkan nilai - nilai sikap ganda atau sinkretisme kepribadian. Menurut Hassan Hanafi, budaya sinkretis tersebut tampak jelas dengan adanya paham keagamaan dan sekularisme ( dalam aspek budaya ), Paham tradisional dan modern ( dalam aspek peradaban), paham Timur dan Barat ( dalam Politik), paham konservatisme dan proresivisme ( dalam sosial), serta paham kapitalisme dan sosialisme ( dalam aspek ekonomi).

Daftar Rujukan

  1. Pernyataan dan kritik terhadap teologi seperti ini sebelumnya pernah disampaikan oleh Al-Farabi (870-950 M) dan Al-Ghazali (1050–1111 M).
  2. A Khudori Soleh, Ilmu Kalam dalam Hierarkhi Keilmuan Perbandingan antara al-Farabi dan al-Ghazali (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997). Tesis tidak dipublikasikan.
  3. Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan (Jakarta: P3M, 1991).
  4. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998).
  5. Hassan Hanafi , Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I (Kairo: Maktabah Matbuli, 1991).

Selasa, 06 September 2022

Menjadi Manusia Era Digital

Dunia saat ini telah berkembang sedemikian rupa yang banyak melibatkan peran teknologi di setiap aspek kehidupan kita, mulai dari digitalisasi hingga otomatisasi menjadi aspek kunci dalam kehidupan manusia pada hari-hari ini.

Pemikiran kita hari ini tidak jauh dari Industry 4.0, Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, Nanotechnology, Biotechnology dan lain lain. Revolusi digital tersebut akan banyak berdampak ke seluruh aspek kehidupan kita mulai dari bisnis, budaya, pemerintahan, akademik, maupun Individu di suatu masyarakat.

Kita tidak perlu masuk ke kantor Grab, Gojek, ataupun korporasi besar lainnya untuk melihat dan memastikan bahwa digitalisasi dan otomatisasi ternyata ada dan hidup bersama manusia itu sendiri. Ketika kita perhatikan, di seluruh dunia pun gejalanya sama, yang mana revolusi digital mempunyai peran yang sangat vital. Contoh yang paling mudah kita temukan, lihatlah keluar, lihat teman-temanmu, adek, keluarga di rumah, kamu bisa melihat dengan sadar bahwa setiap insan bisa terhubung secara maya dengan menggunakan gawai yang selalu dibawa kemana-mana.

Setiap insan bisa terhubung secara maya dengan menggunakan gawai yang selalu dibawa kemana-mana

Banyak pertanyaan kemudian mulai bermunculan, dari mulai apa itu teknologi? sampai bagaimanakah kita hidup di era digital? . Tulisan ini mencoba melihat hubungan ontologis antara manusia dengan teknologi yang disarikan dari pemikiran serta kritik oleh Martin Heidegger terhadap teknologi dalam essay yang berjudul “The Question Concerning Technology,”Heidegger, M.. The Question Concerning Technology, and Other Essays. HarperCollins, 2013. .

Heidegger merupakan salah satu filsuf yang sangat berpengaruh di abad 20. Teknologi menjadi bahasan penting dalam tulisannya, dan bagi Heidegger teknologi adalah kunci untuk kita dalam memahami waktu kita sekarang ini. Heidegger menolak pemisahan antara subjek dan objek, dan pemisahan dirimu dengan dunia, dan menolak bahwa manusia dan teknologi bukanlah dua entitas yang terpisah. Kita adalah teknologi itu sendiri. Sebelum memahami apa itu teknologi kita harus mengetahui Essense atau makna dari teknologi. What is the ‘Essense’ of Technology, then?

The “Essense” of Technology

“I’m not against technology. I’ve never spoken against technology, nor would I demonize technology. But I just only try to understand the nature of technology.” - Martin Heidegger

Martin Heidegger mencoba mendalami makna teknologi: Apa itu teknologi? Apa dampak yang dibuat pada abad ke-20 di kehidupan kita? Heidegger mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam tulisannya. Dengan mengeksplorasi esensi atau makna dan mencoba mempertanyakan tentang keber-ada-an teknologi (being of technology).

Mungkin Martin Heidegger tidak tinggal di era digital seperti sekarang, tetapi Heidegger memberikan konsepsi fundamental tentang bagaimana kita menggunakan, melihat dan hidup bersama teknologi. Heidegger tidak pernah berkata bahwa dia menentang ataupun menganggap jelek teknologi. Dia pernah menjadi tentara nazi pada perang dunia kedua, dan melihat dan mengalami secara langsung bagaimana penggunaan teknologi bom atom bisa jadi sangat berbahaya pada masa itu.

Ketika kita berpikir tentang teknologi, kita jarang sekali berpikir tentang esensi dari teknologi tersebut. Biasanya kita hanya berpikir bagaimana teknologi itu memberikan dampak dan kegunaan bagi kita. Meskipun pertanyaan tersebut juga bukan pertanyaan yang buruk. Tetapi, di sini Heidegger mencoba mengajak kita melihat secara langsung essensi dari teknologi.

Mungkin kamu sedang membaca tulisan ini melalui layar komputer ataupun gawai, ketika ditanya tentang esensi dari teknologi kamu mungkin menggunakan gawai ataupun layar komputer. Itulah esensi dari teknologi. Tetapi wujud fisik (hardware) dari teknologi dan perangkatnya bukanlah teknologi itu sendiri. Dan bagi Heidegger, kita sebagai manusia sebenarnya buta terhadap teknologi.

“We will never experience our relationship to the essence of technology, so long as we merely represent and pursue the technological.” - Martin Heidegger

Terdapat common sense di masyarakat kita bahwa teknologi adalah sesuatu yang netral, sehingga ia tidak memiliki beban moral sama sekali. Heidegger menolak pandangan tersebut karena dia mengklaim bahwa teknologi memiliki semua jenis beban moral tersebut. Teknologi mengubah seluruh aspek kehidupan di masyarakat kita, dan tidak mungkin dengan begitu saja teknologi bisa menjadi alat yang netral.

Heidegger’s Claim

Analisa Heidegger terhadap teknologi di dalam The Question Concerning Technology terdiri dari tiga buah klaim.

1. Teknologi bukan sekedar Instrumen

Teknologi bukanlah sekedar instrumen belaka, yang menjadi sebuah alat yang netral tetapi teknologi merupakan cara kita dalam memahami dunia.

2. Teknologi bukan aktivitas manusia

Teknologi bukanlah aktivitas manusia semata, teknologi berkembang diluar kendali manusia dan hampir diluar pemahaman manusia sendiri.

3. Teknologi sangat berbahaya

Teknologi bisa menjadi alat yang sangat berbahaya bagi eksistensi manusia. Sehingga kita harus dengan hati-hati menggunakannya. Kita tidak bisa melihat dunia hanya dari satu sudut pandang teknologi saja, itu akan menjadi hal yang sangat beresiko dan berbahaya.

Modern Implication

Jika kita melihat sakarang, kita sering sekali mendengar berita-berita mengenai climate change , dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki alam yang telah dirusak. Ketika kita mempunyai pikiran bahwa, kita tidak sepatutnya cemas melihat 40-50 tahun lagi teknologi akan mempunyai kemampuan untuk menghandle masalah tersebut, kita ga perlu cemas sekarang.

Tetapi Heidegger kemudian bertanya, Bagaimana kamu bisa tahu?, bagaimana kamu tahu bahwa kita akan memiliki kemampuan teknologi untuk menghadapi masalah tersebut di 30-40 tahun berikutnya?

Manusia mengira dengan menggunakan teknologi segalanya akan mudah dikontrol, Justru sebaliknya, Teknologilah yang mengontrol manusia.

Kita jangan berharap terlalu berlebihan terhadap keadaan di masa depan, bisa jadi keadaan di masa depan menjadi lebih kompleks dari keadaan yang sedang kita alami sekarang.

Heidegger menunjukkan sikap kepada kita bahwa terdapat tanggung jawab yang besar tentang cara kita menggunakan teknologi saat ini. Sikap dan cara kita menggunakan teknologi adalah aspek kunci yang seharusnya kita perhatikan untuk bagaimana kita menjadi manusia di era digital sekarang ini.

Referensi

1: Heidegger, M.. The Question Concerning Technology, and Other Essays. HarperCollins, 2013.

Tentang Jatuh CInta

 Akhirnya Kubertarung dengan patah hati

SEBATAS PATAH HATI

Lantaran Cinta yang Harus dipilih

Karena mencirai adalah pilihan

kendati memiliki bukan suatu keharusan

disebabkan mecintaimu suatu ketak sengajaan

apakah mendambakanmu suatu keanjuran.

Haruskah sekarang kudengar kata orang

serta mencerna segala masukan

apa tidak terlambat untuk mengulang?

apa masih sempat menunda keputusan?

di depan kian banyak rintangan.

kurasa terlambat kini baru memulai

kurasa pula terlalu cepat dulu memutuskan.

namun dapak aku satu porsi kesempatan?

oh Tuhan, mengapa tak tahu sejak awal?

andai saat dulu tak semenyenangkan itu.

mungkin kini aku bersamaimu

bahkan mungkin jiwaku kau dekap erat olehmu.


teruntuk jiwa dan raga yang telah sua kembali,

kuhatur ribuan terimaksih

begitu pula pada jiwa - ragamu yang tak dapat kumiliki

semoga perlahan hatiku dapat terkunci kembali


AKU PAMIT

Mencintaimu adalah keputusan berat yang berani ku prioritaskan

Membuat kau tersenyum adalah keharusan yang sedang ku upayakan

Lalu, apakah keseriusan cintaku masih belum dapat kau rasakan?


Jika pengorbananku tak pernah kau hiraukan

Jika keberadaanku tak pernah kau harapkan

Mungkin harus kupertegas tentang aturan dalam suatu hubungan


Setia tak berbalas itu menyakitkan

Hubungan dua arah adalah suatu kemustahilan

Lalu, menurutmu haruskah aku berjuang sendirian?


Sungguh bodoh jika aku tetap bertahan

Membuang-buang waktu jika diam tanpa kepastian

Dan faktanya kamu adalah orang asing yang sempat kusemogakan.

Rabu, 31 Agustus 2022

TAK ADA POHON PISANG BERBUAH DUA KALI


Musim masih seperti biasa, berganti sesukanya saja. Menipu mereka yang suka menerka-nerka, dan membingungkan kepala-kepala kesepian, serta mengacaukan perempuan-perempuan tanpa kepastian.

Sementara Orang-orang yang kekurangan pekerjaan sepertiku hanya akan kembali bermain-main dengan kenangan di kepalanya, atau mengotak-atik lemari menemukan diary paling lucu yang pernah ditulis semasa sekolah dulu.

Setiap cerita akan terlewatkan, itulah baiknya orang sepertiku. Sebab semua yang terlewatkan bisa jadi kenangan, tanpa harus istimewa dan penuh kemewahan. 

Pada hembusan angin yang menyuguhkan udara pengap kota. Kali ini, aku hanya ingin mengisahkan satu peristiwa gila dalam hidupku.

Aku tulis bukan untuk dijadikan pelajaran, melainkan untuk ditertawai khusus bagi orang-orang yang telah lama kehilangan gembira dalam jiwanya.

Aku akan menulis tentang seorang perempuan kacau yang memikat. Sembari menulis dan membayangkan, membuatku kembali teringat kisah-kisah mengerikan dalam mitologi Yunani.

Seperti Echo yang jatuh cinta pada Narcissus, sementara Narcissus hanya mencintai dirinya sendiri. Walau Narcissus pada akhirnya meninggal karena tenggelam akibat jatuh cinta pada bayangannya sendiri di air.

Kurang lebih seperti itu gambaran kisah yang akan aku ceritakan. Bermula dari perjalananku ke suatu daerah yang sangat tertata rapi. Dengan kota kecil yang bersih dengan kondisi sosial yang harmoni.

Berangkat dari rasa penasaran, aku ke sana. Dan benar aku menemui seorang perempuan yang memang sudah lama aku idam-idamkan.

Jin, adalah nama yang aku berikan padanya. Tidak seperti remaja pada umumnya, penuh kenekatan aku langsung mengajak dia kencan, bercinta dan saling memadu kasih.

Tanpa basa-basi, ia pun setuju untuk ketemu dan melanjutkan percakapan di salah satu penginapan di kota itu. Aku tahu rasa itu penting, dan aku sungguh punya perasaan mendalam terhadapnya, walau kusadari ia tak begitu tertarik melibatkan rasa dalam hubungan kami.

Sehingga kami terus berkomunikasi, ketemu dan membawaku pada pemahaman lebih dalam. Bahwa aku begitu larut dalam perasaanku terhadapnya, sementara ia tak pernah sedikitpun mencintaiku.

Aku merasakan bagaimana sosok perempuan cantik dengan postur tubuh layaknya gitar, seperti artis-artis papan atas yang setiap pekan muncul di televisi, melampiaskan dendamnya di masa lalu padaku di Plataran dengan penuh birahi.

Sebagai lelaki dengan segenap gejolak perasaan, aku menerima semua itu dengan penuh kegembiraan. Seolah kami menjadi sepasang takdir yang saling berbagi suka.

Walau selepas itu, ia akan kembali bersedih, atau pura-pura tersenyum sembari berucap “Semoga kekasih simpanan ku tidak tahu” harapnya parau.

Tetapi lama-lama ia akan berkabar lagi, seolah menjadikan kata rindu sebagai alat untuk kembali melampiaskan dendamnya padaku.

Di situlah aku banyak belajar tentang jejak masa lalu seseorang yang kelam bisa saja ditumpahkan di hari depan dengan orang yang berbeda tentunya.

Saat-saat ia mengecup bibirku lalu tersenyum lugas, aku menyaksikan kepuasan dan kelegaan yang dinampakkan di wajahnya.

Meski berat untuk mengakui diri ini sebagai wadah pelampiasan, sebab secara biologis aku juga menikmati keadaan itu, tanpa menampik jerita tangis dari belahan jiwaku yang benar-benar tulus.

Hingga pada suatu ketika hujan membawa kabar, entah kenapa kala itu hujan bukan sekedar membawa manusia pada kenangan semata, tetapi juga memberikan keterangan baru.

Perempuan tersebut tiba-tiba mengeluh lantaran perasaannya terabaikan, dan aku menyimpulkan ia baru merasakan apa yang aku rasakan. Sakitnya mencintai seseorang yang telah lama mencintai orang lain.

Tetapi aku tidak kalah, aku hanya lelah saja. aku terus berusaha bertindak profesional, memberikan semangat untuk tetap memperjuangkan apa-apa yang diinginkannya. Ia pasrah dan berakhir jengkel padaku, seolah aku adalah penyebab sehingga cintanya tidak terbalas.

Hingga ia terus memintaku untuk datang ke tempatnya, walau sangat berat dan penuh tantangan, aku memutuskan menjadi manusia yang bertanggung-jawab, aku hadir di hadapannya.

Dengan rasa gembira menunggunya di tempat biasa kami bercumbu, ia lama tidak datang. Lalu akhirnya ia memberi kabar kalau dirinya sedang sibuk dan tidak bisa menemui.

Aku menerima perlakuan itu sebagai kewajaran atas lelaki brengsek sepertiku. Demikian seterusnya, aku diminta datang dan mendapatkan perlakuan serupa, tidak kunjung ditemui dengan berbagai alasan yang pastinya tidak masuk akal.

Aku terus saja menerima hal itu sebagai ganjaran yang wajar. Hingga aku menyadari peristiwa itu sebagai pelampiasan dendam yang membuat dirinya sangat puas dan lumayan lega.

Singkatnya, sebagai lelaki yang tidak baik-baik saja. Pengorbanan adalah bagian perjalanan, sementara pengkhianatan adalah tantangan hidup sebelum rasa bosan membuat kita berhenti dari semua harapan.

Terakhir, perempuan itu mengirimkan padaku gambar setangkai mawar yang nampak sudah lama layu. Ia memberiku isyarat akan inginnya padaku yang sudah tidak bisa lagi diselamatkan.

Walau mati-matian aku berusaha mengembalikan bunga itu kembali mekar, mewangi dan indah, memupuk dengan berbagai macam nutrisi, merawat dan menaungi dari terik mentari, bahkan menyiramnya dengan keras oleh deru tangis dan air mata.

barangkali ada yang minat menanam benih tanpa buah? hubungi 0813-33191831

Minggu, 28 Agustus 2022

Filosofi Teras ! Kimyahussa'adah Era Kontemporer

 


Dalam buku berjudul Folosofi teras ini pada halaman 293, karya Hendry Manampiring.

“Jangan menyebut dirimu sendiri Seorang Filsuf atau mengembar-gemborkan teori yang kamu pelajari…karena domba tidak memuntahkan lagi rumput kepada sang gembala untuk memamerkan banyaknya rumput yang telah dimakannya; tetapi domba tersebut mencerna rumput di dalam tubuhnya, dan ia kemudian memproduksi susu dan bulu. Begitu juga, janganlah kamu memamerkan apa yang sudah kamu pelajari, tetapi tunjukannlah tindakan nyata sesudah kamu mencernanya." ~ Epictetus (Enchiridion).

Sudah 2 tahun lamaanya saya berkenalan dengan Buku ini, sehingga dalam suatu diskusi sempat ada panggilan akrab saya yaiu Ulama Teras, selama kegiatan diskusi yang berlangsung lama tiga hari dalam rangka Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Pada kesempatan kali ini saya ingin menuntaskan niat bahwa habis baca ingin me-Review Isi Buku Filosofi teras tersebut, supaya dapat orang lain baca lantaran Review ini, kendatinya dalam Review ini masih dibilang sangat tidak sempurna paling tidak 25% mewakili isi buku ini.

Saya tidak memposisikan diri sebagai pereview dari buku ini, karena saya tahu saya tidak cukup kompeten untuk mereview sebuah tulisan yang maha luar biasa ini. Saya hanya akan mencoba menuangkan beberapa poin yang paling berpengaruh bagi saya setelah bergaul dengan buku ini. Tidak ada niatan sedikit pun untuk memamerkan apa yang telah saya pelajari dari buku ini, karena buku ini pun mengingatkan saya untuk hal demikian.

1. Dikotomi Kendali

Membicarakan Kebahagian, tentu ini harapan setiap orang, dengan cara dan upaya yang berbeda - beda. namun kenapa masih ada orang yang merasa tidak Bahagia, dimana yang salah?

Buku yang ditulis oleh penulis bernama Hendry Manampiring ini barangkali dapat membuka pemikiran pembaca sehingga menjadi terangnya cakrawala kebahagiaan kedepannya bahwa kebahagian erat kaitannya dengan kemampuan kita untuk memegang kendali terhadap perasaan itu sendiri. Artinya apa? Kitalah yang mempunyai peran untuk membuat diri kita bahagia. Jika kita ingin bahagia, maka fokuslah kepada hal yang ada di bawah kendali kita karena hal itu diproses oleh diri kita sendiri.

Dalam buku tersebut telah diberi contoh sangat Jelas bahwa dalam memperoleh kebahagian kita hanya perlu mengelolah dengan baik hal-hal yang telah dikategorikan masuk dalam “kendali kita”. Setelah kita mengetahui apa saja yang berada di bawah kendali kita, selanjutnya kita juga perlu menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak berada di bawah kendali kita.

jadi bisa dipatikan bahwa apa yang di luar kendali kita jangan terlalu diperhatikan karena hal itu hanya membuang waktu dan tenaga saja.

Dalam buku ini dengan jelas menuangkan bahwa tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi/popularitas kita, kesehatan kita, kekayaan kita, kondisi kita saat lahir (jenis kelamin, orang tua, saudara-saudara, etnis, suku, kebangsaan, warna kulit, dll), serta segala sesuatu di luar pikiran dan tindakan kita, itu semua merupakan hal-hal yang berada tidak di bawah kendali kita. dalam bahasa anak jaman sekarang kita harus Bodo Amat !.

apa hubungannya dengan kebahagian?. begini sahabat, jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan dan hal itu masuk dalam kategori tidak berada di bawah kendali kita, maka sebaiknya kita abaikan saja, karena toh hal itu tidak akan pernah bisa kita ubah. 

Kita tidak akan pernah bisa merubah opini orang lain terhadap kita, kita tidak akan pernah bisa menentukan bagaimana sebaiknya orang lain berperilaku kepada kita. Harta kita bisa hilang setiap saat, kondisi kesehatan kita bisa terganggu kapan pun.  Benar, kan?

Intinya adalah berhenti untuk mengharapkan segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan kita karena akan ada banyak hal yang terjadi di luar keinginan kita dan jelas itu juga di luar kendali kita. Terima dengan ikhlas lalu kita akan berhenti merasa gelisah.

Itu aja dulu yaah... Saya Tahu Anda Males Baca hasil tulisan saya ! 

Kalau enggak,,,, Ok tunggu saja Review selanjutnya

Bila Mesin Berkuasa, Apalah Daya Manusia?

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berupaya berfikir kritis dengan berbagai metode berfikir sesuai konteknya. Seperti C...