Artikel ini dipersembahkan untuk seseorang yang membakar hati penulis agar bisa berpikir lebih dalam tentang arti cinta dan hubungan.
Berbicara soal cinta banyak pendapat yang semangat mendefinisikan, terlebih statusnya sebagai pujangga ulung. saya misalnya. tentu memiliki diksi indah penuh makna dalam mendefinisakan soal cinta tadi, bagi orang tua, cinta adalah tentang bagaimana merawat anaknya hingga dewasa. Bagi seorang tentara, cinta ialah perihal pengabdian terhadap negaranya hingga tuntas.
Demikian dengan hal ini cinta dimaknai sebagai suatu ekspresi atas perasaan yang dirasakan individu terhadap liyan, maupun individu terhadap objek lainnya.
Cinta juga sering kali dipandang sebagai sesuatu yang membuat hati seseorang terluka - kata ia yang terluka. Berbagai macam ekspektasi dan andaian yang tak sesuai realitas, sering kali membuat makna cinta yang sesungguhnya menjadi keliru. Lebih mendasar lagi, bahkan mungkin memaknai relasi secara keliru dapat menjadi awal dari pemaknaan cinta yang keliru pula.
Terkait dengan cinta, terdapat seorang filsuf eksistensialisme yang dikenal dengan nama Martin Buber. Ia adalah seorang filsuf kelahiran Wina, Austria, pada 8 Februari 1878. Pemikirannya banyak memengaruhi para pemikir lain pada zaman setelahnya, terutama pada pemikiran relasi dialogis yang akan penulis angkat dalam artikel ini.
Martin Buber menulis pemikiran eksistensial yang benar-benar berbeda ketimbang eksistensialis lainnya. Pada karyanya yang berjudul Ich und Du, atau dalam Bahasa Inggris I and Thou, Buber menjelaskan mengenai konsep cara berada manusia. Di sinilah ia memberi pendasaran eksistensialisme yang terkait dengan pandangannya mengenai relasi dialog.
Manusia dan Cara Beradanya
Menurut Buber, manusia memiliki dua cara berada. Keduanya berbeda bergantung pada kombinasi kata yang dipasangkan pada I sebagai manusia. Sehingga, terdapat dua cara berada, yaitu: I-Thou dan I-It. The one primary word is the combination I-Thou; The other primary word is the combination I-It. Kata I-Thou maupun I-It bukanlah menunjukkan hal-hal, melainkan suatu relasi yang intim.
I tidak dapat ditunjukkan atau berada dalam dirinya sendiri (There is no I taken in itself), melainkan harus dalam rangkaian relasi I-Thou atau I-It. Dalam hal ini, Buber ingin mengatakan bahwa manusia tidak mungkin berada terpisah dari dunianya, lingkungan pembentuknya (Dasein), bersama pula dengan orang lain, di mana manusia menjalin suatu relasi intim (being with others). Pada penjelasan berikutnya, manusia akan disebut sebagai aku atau I.
I and It
Aku selalu terikat dengan benda-benda. Aku menerima sesuatu, aku merasakan sesuatu lewat panca indera, membayangkan sesuatu, menginginkan, atau memikirkan sesuatu. Inilah yang disebut sebagai realitas benda-benda di dalam I and It. Benda-benda tersebut saling terikat satu dengan lainnya. Oleh karenanya ia ada.
Pada I-It, aku mengetahui dunia lewat Erfahrung, suatu pengalaman yang merujuk pada benda-benda. Pengalaman adalah sebagai media bagi aku untuk mengalami benda-benda yang ada di sekitarku. Pengalaman adalah sesuatu yang membuat aku mengetahui benda-benda. Benda-benda adalah segala jenis benda apapun, tidak terkhusus pada suatu jenis tertentu.
Benda-benda yang kita hadapi semisal telepon genggam, hewan, meja, kursi, dan lain-lain, merupakan dunia benda-benda. Keberadaan dari benda-benda ini semakin meneguhkan kebebasan manusia (aku). Di dalam relasi dengan benda-benda, kebebasan aku menjadi semakin berarti. Di sini, hanya manusia lah yang dapat mengendalikan benda-benda, dan bukan sebaliknya.
Sehingga, ciri utama dalam relasi I-It ini adalah bersifat fungsional, di mana aku dapat menggunakan benda-benda di sekitar dengan kemauanku. Benda-benda yang ada di sekitar ktia memberi kemungkinan bagi kelancaran dalam menjalani hidup, tak terkecuali bagi relasi dalam I and Thou yang akan dijelaskan selanjutnya.
Tentang Relasi I and Thou
Bagi Buber, relasi I and Thou (Aku dan Engkau) adalah suatu cara berada manusia dengan liyan melalui perjumpaan (Encounter). Di dalam relasi ini, aku dan engkau bukanlah sesuatu yang saling asing. Malahan, aku dan engkau adalah terikat lewat suatu relasi perjumpaan. Bagaimana maksudnya?
Pada relasi I-It, keterhubungan aku dan benda-benda ditunjukkan lewat bounding/ keterikatan. Di sini, hanya ada satu subjek, yakni aku yang mengendalikan objek-objek, benda-benda. Sehingga, aku mengikat benda-benda itu denganku. Sedangkan dalam I-Thou, aku dan engkau adalah sama, subjek yang berelasi.
Keterikatan antara aku dan benda-benda berarti berusaha mengobjektifikasi benda-benda tersebut, menjadikan benda tersebut sebagai datum-datum, tanpa memperhatikan aspek lainnya. Sedangkan, aku dan engkau terlihat dalam suatu relasi perjumpaan, dimana aku tidak menilai engkau.
Aku bertemu dengan engkau oleh karena rahmat; bukan sesuatu yang dicari. Engkau berjumpa dengan aku, dan aku secara langsung masuk ke dalam relasi di dalamnya. Engkau tidak mungkin mencari aku, dan begitu pula sebaliknya. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya hingga akhirnya kita saling mengetahui.
Oleh karena pertemuan adalah sebuah kehidupan nyata dan sebuah rahmat, maka sudah sepantasnya aku mensyukurinya. Kehadiran wajah engkau sebagai representasi seluruh diri engkau adalah rahmat. Sehingga, penghargaan atas realitas engkau dalam hidup aku adalah perlu dan mutlak lewat hubungan yang timbal-balik dan melebur (fusion).
Buber menjelaskan bahwa dalam relasi I-Thou, tidak ada sistem ide-ide, pengetahuan, atau andaian tertentu. Relasi I-Thou merupakan suatu relasi langsung, tidak memiliki suatu tujuan apa pun. No aim, no lust, and no anticipation intervened between I and Thou.
Keinginan-keinginan macam itu akan dengan sendirinya terungkap melalui penampakan dalam relasi dengan Thou. Oleh karenanya, I-Thou tidak mengandaikan suatu ekspektasi ketika berjumpa. Apa yang hadir bagi aku adalah engkau seutuhnya, bukan karena kecantikan, kepintaran, kekayaan, dan sebagainya.
Jika pada I-It relasi itu berjalan dengan suatu maksud tertentu, maka dalam I-Thou lebih bersifat timbal-balik dan fusion (melebur). Aku menyapa engkau dan engkau menanggapinya. Ketika suatu tanggapan dilakukan saat aku atau engkau menyapa, terjadilah suatu relasi yang timbal-balik. Dalam relasi yang timbal-balik ini, suatu relasi telah disyukuri.
Relasi timbal-balik juga merupakan ciri dari suatu relasi dialogis. Suatu sapaan yang disampaikan aku, kemudian ditanggapi oleh engkau dan bermuara pada dialog-dialog, merupakan suatu bentuk relasi paling otentik. Lewat dialog, realitas internal aku ataupun engkau dapat diketahui. Aku dapat mengetahui engkau hanya oleh dialog di antara aku dan engkau. Ini lah yang dimaksud Buber sebagai relasi dialogis.
Puncak dari relasi perjumpaan-dialogis ini adalah suatu kesadaran bahwa pertemuan aku dengan engkau adalah suatu takdir. Keberadaan aku dan engkau adalah sesuatu yang sudah tetap. Aku dan engkau adalah pasangan yang harus ada, tak dapat dipisahkan. Kalau engkau tidak ada, aku pun demikian. Aku tidak akan pernah menjadi aku jika tidak ada engkau. Aku ada karena engkau ada dalam perjuangan hidupku.
Tentang Cinta Sebagai Dasar Relasi Dialogis
Sebelumnya telah disinggung mengenai ciri khas relasi I-Thou, di mana adanya suatu timbal-balik dan suatu peleburan. Semuanya itu didasari oleh relasi cinta.
Bagi Martin Buber, cinta bukanlah bagian dari feeling atau perasaan. Di dalam buku I and Thou, Buber memberi contoh bahwa perasaan Yesus terhadap orang jahat dan murid-muridnya adalah berbeda; namun cinta adalah satu. Di sini, secara sederhana Buber mengatakan bahwa cinta bukan sesuatu yang dirasakan sebagai suatu perasaan, melainkan didiami.
Feelings are “entertained”: love comes to pass. Perasaan hanya ada di dalam aku/ manusia, namun manusia tinggal di dalam cinta. Buber mengatakan ini bukan sebagai suatu metafora, melainkan suatu kenyataan. Cinta bukanlah sesuatu yang melekat pada aku untuk mendapatkan engkau sebagai suatu objek. Namun, cinta adalah antara aku dan engkau.
Cinta adalah suatu kondisi yang didiami oleh aku bersama dengan engkau dalam suatu relasi. Di dalamnya, aku dan engkau saling bicara, melakukan hubungan timbal-balik dan saling melebur. Tinggal di dalam cinta dapat membawa suatu perubahan “baik” dalam hidup seseorang. In the eyes of him who takes his stand in love, and gazes out of it, men are cut free from their entanglement in bustling activity.
Dalam relasi aku-engkau yang didasari oleh cinta, baik engkau ataupun aku akan dapat mengarah pada suatu perkembangan diri, kepenuhan potensialitas oleh karena akan ada “kesalingan” untuk membantu, menyembuhkan, mendidik, membangkitkan, serta menyelamatkan. Meminjam pernyataan Gabriel Marcel, cinta bermakna pula bersikap “disponibel” terhadap aku atau pun engkau. Oleh karenanya, cinta adalah tanggung jawab dari aku untuk engkau.
Tinggal dalam cinta menjaga aku dari sebuah keterasingan eksistensi. Cinta membuat engkau ataupun aku untuk bertindak sebagai ekspresi saling menginginkan dan bukan saling membutuhkan. Tinggal dalam cinta juga bermakna mengalami cinta, bertindak di dalamnya. Oleh karenanya, relasi yang otentik hendaknya didasarkan pada cinta sebagai cara pandang baru untuk melihat dimensi liyan, engkau.
Cinta dan Otentisitas: Sebuah Kesimpulan
Cinta yang dimaksud oleh Buber adalah sesuatu yang membuat kita mampu bertindak untuk orang lain, suatu orientasi yang tidak egoistik, namun altruistik. Aku yang bertanggung jawab terhadap engkau adalah suatu tindakan yang benar-benar diarahkan terhadap engkau dalam realitas perjumpaan. Sehingga, cinta membuat aku maupun engkau berkembang dan menjadi semakin otentik di dalamnya.
Memang, pandangan Buber mengenai konsep eksistensi manusia dan otentisitasnya berbeda dari para filsuf eksistensialisme lain. Buber menekankan bahwa eksistensi manusia benar-benar bergantung pada relasi-relasi, dengan dunia dan sesama, dalam I-It dan I-Thou. Keterhubungan dengan dunia dan sesama adalah penting bagi seorang manusia. Dengan itu ia eksis.
Lantas, telah jelas bahwa dengan cinta seorang manusia dapat menjadi semakin otentik oleh karena ia berada dalam relasi, seperti yang dijelaskan Buber sebagai I-It dan I-Thou. Penekanannya adalah tiap manusia tidak dapat serta-merta egois dan individualistis dalam hidupnya. Ia masih membutuhkan sesama. Realitas perjumpaan adalah penting, karena: “All real living is meeting.”
Daftar Pustaka
Buber, Martin., I and Thou, (Terj.) Ronald Gregor Smith, (Edinburgh: T.&T. Clark).
Hia, Robeti., “Konsep Relasi Manusia Berdasarkan Pemikiran Martin Buber”, dalam Jurnal Melintas, Vol. 30, No. 3.
Prasetyono, Emanuel., Tema-Tema Eksistensialisme: Pengantar Menuju Eksistensialisme Dewasa Ini, (Surabaya: Unika Widya Mandala Surabaya, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar