Rabu, 03 Maret 2021

Vaksin Penyakit Mental Masa Kini

Vaksin Penyakit Mental Masa Kini


D

unia kedatangan wabah penyakit dan bencana yang bertubi – tubi, tidak harus terlalu jauh kita menatap masa silam. Di tahun 2021 yang berusia 2 bulan ini Banyak hal – hal di luar diri kita mengundang rasa cemas dalam diri kita,

Mayoritas orang – orang dimasa sekarang cemas disebabkan hadirnya bencana alam di berbagai daerah, seperti peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di pulau Seribu pada 9 Januari 2021 lalu.

Lagi - lagi peristiwa dahsyat yang terjadi datang bergantian menyambut tahun 21 ini antara lain;  longsor di Sumedang, Jawa Barat, Banjir di Kalimantan Selatan, Gempa di Sumatera Barat, Banjir serta tanah longor di Sulawesi Selatan, Erupsi gunung Semeru dan Gunung merapi.

Memang pada hakikatnya bencana alam merupakan fitrah alam itu sendiri, kendati demikian soal ulah kita yang tanpa pertimbangan secara serius tentang perilaku kita terhadap alam belum kita laksanakan, oleh sebab itu penggundulan hutan, penebangan pohon secara besar-besaran,  dan sebagainya, masih diperlakukan oleh kita.

Terlepas dari penyebab atas terjadinya bencana tersebut, fenomena alam merupakan bentuk keniscayaan bagi hamba-Nya yang hidup berdampingan dengan alam. Dengannya kita mesti memerlukan kesiapan mental kita untuk menjaga suasana hati kita dari pengaruh luar diri kita. Sehingga kita seolah – olah tidak peka terhadap peristiwa yang terjadi di luar kendali kita. Cara pandang semacam ini saya dapatkan dari para filosof di Zaman Stoa. Beliau memberi kita gambaran untuk menjaga Psikis kita.

Stoicisme adalah ideologi yang diciptakan oleh seorang filsuf bernama Zeno yang berasal dari Citium pada awal abad ke-3. Dari pemikiran Zeno, ada tokoh-tokoh hebat yang menganut filosofi ini. Penganut filosofi ini tidak hanya terbatas pada sebagian orang, bahkan para budak, orang awam sampai kaisar Romawi. Tokoh-tokoh ini berisi kaisar Marcus Aurelius, Epictetus dan Seneca. (Baca-Filosofi Teras).

Setidaknya kita simak Narasi Stoicisme berikut ini ;

Pertama, Filsafat Stoa percaya pada keberadaan kata dan itu adalah sesuatu yang lebih tinggi dari kita, ya Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta memiliki sistemnya sendiri. Untuk ketabahan, jika kita ingin hidup bahagia, kita harus selaras dengan alam.

Ada kekuatan besar di balik semua yang mengaturnya. Jika kita tidak berbuat baik kepada alam, maka tidak heran alam akan memberikan hal yang sama kepada kita, dengan kata lain Karma. Dengan memahami hal ini paling tidak ketika kita berhadapan dengan bencana atau kesulitan, kita memahami bahwa semua ini adalah sebab dan akibat dari tingkah laku kita Terhadap alam, agar kita tidak mudah merasa cemas, terhadap fenomena yang terjadi.

Kedua. Petakan antara dalam diri dan diluar diri. Dalam ajaran Stoisisme Istilah ini dinamakan Dikotomi kendali, Menurut Epictetus yang dikutip oleh Ryan Holiday dan Stephen Hansleman dalam Buku The Daily Stoic menyatakan “kenali kendali diri kita dan kendai di luar diri kita”

“ Ada hal – hal di bawah kendali kita, ada Hal – hal di luar kendali kita” demikian Kata Epictetus, Hal ini penting bagi kita apabila peristiwa mengguncang psikis kita, sehingga kita dapat membedakan apa yang penting dan apa yang cukup kita diamkan. Semisal ada peristiwa yang terjadi di luar diri kita namun merubah perasaan kita; cemas, sakit hati, dll. Jika demikian yang perlu kita kendalikan adalah Respon Emosi kita terhadap peristiwa yang terjadi di luar kendali kita, seperti bencana alam itu sendiri dan perkataan orang lain terhadap diri kita tidak mungkin kita dapat mengendalikan sesuai yang kita inginkan.

Ketiga, Tidak ada peristiwa hidup yang bisa kita sebut “ Baik” dan “Buruk” yang ada hanya interpretasi kita terhadap peristiwa. Begitulah Kira – kira menurut Pandangan Stoisisme. Hal ini senada dengan yang di amalkan oleh Henry Manampiring dalam Filosofi Teras. Jadi saya tegaskan sekali lagi bahwa ”Berfikir Buruk Pada sesuatu Adalah Membuatnya Lebih Buruk”.

Keempat, Marcus Aurelius Sang filsuf Stoicisme menerapkan Prinsip Menerima dengan lapang terhadap kenyataan sekalipun menyakitkan.

Mengapa begitu sulit saat hidup dirasa melawan dirimu? Jika memang peristiwa ini datang dari Alam, maka terimalah dengan lapang dada. Jika tidak, maka cari tahulah apa yang harus kamu lakukan. Kerjakan itu, bahkan jika hal itu tidak memberikanmu kemuliaan” – kata Marcus Aurelius.

Sehubungan dengan itu saya mengutip dialog Filsuf muslim dalam Mastnawi  karya Jalaluddin Rumi. suatu ketika datang seorang hamba yang hidupnya menderita, ia berdoa supaya keluar dari penderitaannya, namun kemudian hari ia mengeluh sebab Doanya tidak terkabulkan. Kemudian sang Rumi menjawab “Mana tahu Tuhan Lebih Suka Tangisanmu daripada kegembiraanmu”.

Kendati demikian, Opini dalam diri manusia berbeda – beda akan tetapi yang terpenting adalah jika datang dari alam maka terima itu dengan lapang. Karena hanya dengan rela menerima jiwa kita akan lebih baik daripada menolak sebuah kenyataan. Namun, jika itu atas kesalahan kita maka cari tahu dan perbaiki sebisa mungkin apa yang dapat diperbaiki oleh kita.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

keren yak...

Bila Mesin Berkuasa, Apalah Daya Manusia?

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berupaya berfikir kritis dengan berbagai metode berfikir sesuai konteknya. Seperti C...