D |
unia kedatangan wabah penyakit dan bencana yang
bertubi – tubi, tidak harus terlalu jauh kita menatap masa silam. Di tahun 2021
yang berusia 2 bulan ini Banyak hal – hal di luar diri kita mengundang rasa cemas
dalam diri kita,
Mayoritas
orang – orang dimasa sekarang cemas disebabkan hadirnya bencana alam di
berbagai daerah, seperti peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di
pulau Seribu pada 9 Januari 2021 lalu.
Lagi
- lagi peristiwa dahsyat yang terjadi datang bergantian menyambut tahun 21 ini
antara lain; longsor di Sumedang, Jawa
Barat, Banjir di Kalimantan Selatan, Gempa di Sumatera Barat, Banjir serta
tanah longor di Sulawesi Selatan, Erupsi gunung Semeru dan Gunung merapi.
Memang
pada hakikatnya bencana alam merupakan fitrah alam itu sendiri, kendati
demikian soal ulah kita yang tanpa pertimbangan secara serius tentang perilaku
kita terhadap alam belum kita laksanakan, oleh sebab itu penggundulan hutan,
penebangan pohon secara besar-besaran, dan sebagainya, masih diperlakukan
oleh kita.
Terlepas
dari penyebab atas terjadinya bencana tersebut, fenomena alam merupakan bentuk
keniscayaan bagi hamba-Nya yang hidup berdampingan dengan alam. Dengannya kita
mesti memerlukan kesiapan mental kita untuk menjaga suasana hati kita dari
pengaruh luar diri kita. Sehingga kita seolah – olah tidak peka terhadap
peristiwa yang terjadi di luar kendali kita. Cara pandang semacam ini saya
dapatkan dari para filosof di Zaman Stoa. Beliau memberi kita gambaran
untuk menjaga Psikis kita.
Stoicisme
adalah ideologi yang diciptakan oleh seorang filsuf bernama Zeno yang berasal
dari Citium pada awal abad ke-3. Dari pemikiran Zeno, ada tokoh-tokoh hebat
yang menganut filosofi ini. Penganut filosofi ini tidak hanya terbatas pada
sebagian orang, bahkan para budak, orang awam sampai kaisar Romawi. Tokoh-tokoh
ini berisi kaisar Marcus Aurelius, Epictetus dan Seneca. (Baca-Filosofi Teras).
Setidaknya kita simak Narasi Stoicisme berikut
ini ;
Pertama, Filsafat Stoa percaya
pada keberadaan kata dan itu adalah sesuatu yang lebih tinggi dari kita, ya
Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta memiliki sistemnya sendiri.
Untuk ketabahan, jika kita ingin hidup bahagia, kita harus selaras dengan alam.
Ada kekuatan besar di balik semua yang mengaturnya.
Jika kita tidak berbuat baik kepada alam, maka tidak heran alam akan memberikan
hal yang sama kepada kita, dengan kata lain Karma. Dengan memahami hal
ini paling tidak ketika kita berhadapan dengan bencana atau kesulitan, kita
memahami bahwa semua ini adalah sebab dan akibat dari tingkah laku kita
Terhadap alam, agar kita tidak mudah merasa cemas, terhadap fenomena yang
terjadi.
Kedua. Petakan antara dalam diri
dan diluar diri. Dalam ajaran Stoisisme Istilah ini dinamakan Dikotomi
kendali, Menurut Epictetus yang dikutip oleh Ryan Holiday dan Stephen Hansleman
dalam Buku The Daily Stoic menyatakan “kenali kendali diri kita dan
kendai di luar diri kita”
“ Ada hal – hal di bawah kendali kita, ada Hal – hal
di luar kendali kita” demikian Kata Epictetus, Hal ini penting bagi kita
apabila peristiwa mengguncang psikis kita, sehingga kita dapat membedakan apa
yang penting dan apa yang cukup kita diamkan. Semisal ada peristiwa yang
terjadi di luar diri kita namun merubah perasaan kita; cemas, sakit hati, dll.
Jika demikian yang perlu kita kendalikan adalah Respon Emosi kita terhadap
peristiwa yang terjadi di luar kendali kita, seperti bencana alam itu sendiri
dan perkataan orang lain terhadap diri kita tidak mungkin kita dapat
mengendalikan sesuai yang kita inginkan.
Ketiga, Tidak ada peristiwa hidup
yang bisa kita sebut “ Baik” dan “Buruk” yang ada hanya interpretasi kita
terhadap peristiwa. Begitulah Kira – kira menurut Pandangan Stoisisme. Hal
ini senada dengan yang di amalkan oleh Henry Manampiring dalam Filosofi
Teras. Jadi saya tegaskan sekali lagi bahwa ”Berfikir Buruk Pada sesuatu
Adalah Membuatnya Lebih Buruk”.
Keempat, Marcus Aurelius Sang
filsuf Stoicisme menerapkan Prinsip Menerima dengan lapang terhadap
kenyataan sekalipun menyakitkan.
“Mengapa begitu sulit saat hidup dirasa melawan
dirimu? Jika memang peristiwa ini datang dari Alam, maka terimalah dengan
lapang dada. Jika tidak, maka cari tahulah apa yang harus kamu lakukan.
Kerjakan itu, bahkan jika hal itu tidak memberikanmu kemuliaan” – kata
Marcus Aurelius.
Sehubungan dengan itu saya mengutip dialog Filsuf
muslim dalam Mastnawi karya
Jalaluddin Rumi. suatu ketika datang seorang hamba yang hidupnya menderita, ia
berdoa supaya keluar dari penderitaannya, namun kemudian hari ia mengeluh sebab
Doanya tidak terkabulkan. Kemudian sang Rumi menjawab “Mana tahu Tuhan Lebih
Suka Tangisanmu daripada kegembiraanmu”.
Kendati demikian, Opini dalam diri manusia berbeda –
beda akan tetapi yang terpenting adalah jika datang dari alam maka terima itu
dengan lapang. Karena hanya dengan rela menerima jiwa kita akan lebih baik
daripada menolak sebuah kenyataan. Namun, jika itu atas kesalahan kita maka
cari tahu dan perbaiki sebisa mungkin apa yang dapat diperbaiki oleh kita.
1 komentar:
keren yak...
Posting Komentar