Rabu, 26 Oktober 2022

Belum Cukup Iman Untuk jadi Atheis: Cerita pertama


Tulisan ini merupakan pengalaman subyektif saya, jadi jangan tersinggung dan jangan baper barang kali anda pernah mengintrogasi saya sebagai Mahasiswaa filsafat.

Saat pertamakali menyentuh form pendaftaran masuk kuliah, sama sekali tidak mengetahui prodi apa saja yang tersedia di kampus tersebut, namun optimis saja karena niatku adalah melanjutkan studi yang lebih tinggi, jadi saya akui saya tidak jelas tujuannya apa.

Singkat cerita, lantaran jurusa yang aku pilih adalah jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, banyak pertanyaan aneh dari orang - orang yang ditujukan pada saya. Sejujurnya dengan pertanyaan aneh tersebut saya sudah kenyang.

Atas rasa kenyang itulah, saya merasa punya hak untuk memetakan pertanyaan-pertanyaan yang saya terima menjadi tiga tipe model pertanyaan. Tipe pertanyaan pertama, "Ambil jurusan apa? Hah... filsafat? Nanti kalau sudah lulus mau kerja apa?" Modyar. Itu pertanyaan standar dari bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas atau mbak-mbak yang tidak pernah bersentuhan dengan filsafat. Jawaban saya, ya, standar pula, karena tidak mungkin saya menceritakan sejarah filsafat dari zaman Yunani Klasik pra-Socrates sampai Postmodern, kan (lagian saya juga gak hafal sejarahnya).

Model pertanyaan kedua datang dari ruang lingkup akademis, katakanlah mahasiswa, yang memandang sebelah mata kuliah filsafat. Begini biasanya pertanyaannya, "Kak, gak mumet ya belajar filsafat?" Sebenarnya, kalau ditelusuri, pertanyaan ini timbul dari pengalaman buruk mereka saat masuk di kelas filsafat. Apalagi kalau mata kuliahnya ontologi. Mending kalau mata kuliah filsafat umum atau filsafat ilmu. Klaim mereka tentang kemumetan filsafat diawali dari paradigma bahwa filsafat tidak ada kaitannya dengan jurusan yang selama ini mereka tekuni.

Menghadapi jenis pertanyaan seperti ini, saya tidak akan menjawab dengan menjelaskan apa tujuan belajar filsafat. Tapi saya jawab dengan balik bertanya, "Belajar apa sih yang gak mumet?" Biasanya, mereka manggut-manggut tanda setuju. Iya... ya, namanya belajar pasti ya mumet, bukan hanya belajar filsafat thok.

Pertanyaan yang ketiga meningkat satu derajat lebih tinggi. Pertanyaan seperti ini berasal dari penilaian sepihak, generalisasi yang berlebihan, atau klaim yang tidak didasari pada fakta-data empiris yang kuat dan proses rasionalisasi yang mendalam. Pertanyaan adalah, "Kamu gak khawatir keblinger masuk jurusan filsafat?" hemm. Kalau menghadapi pertanyaan pertama dan kedua, saya masih bisa adem ayem, tapi yang ini? Hemm... sepertinya dari kepala saya sudah mulai muncul satu tanduk, macam badak bercula satu.

Orang-orang yang mengajukan pertanyaan seperti ini mungkin saja melihat beberapa teman mereka yang, maaf, tidak menjalankan ritual keagamaan dengan rajin atau alpa sama sekali.

Atas dasar itulah mereka mengkambing hitamkan filsafat. Dengan agak sinis saya menjawab "Temen saya anak fakultas Keislaman, gak pernah belajar filsafat juga gak shalat kok, gak puasa juga". Sambil menjawab begitu seraya membatin, "Saya anak filsafat, walaupun gak rajin tepat waktu, tapi gak pernah bolong-bolong".

Tiga model pertanyaan yang saya cantumkan di atas, bagi saya adalah konsekuensi logis atas pilihan saya. Mungkin bagi mereka, filsafat memang bukan hal yang sembarangan. Sembarangan dalam hal ini bukan dalam artian mewah atau wah, tapi lebih pada konotasi negatif. Filsafat dipandang sebagai sesuatu yang asing, menakutkan, tidak jelas, tidak ada gunanya, membuang tenaga, dan oleh karena itu, tidak perlu susah payah mempelajarinya.

Penilaian semacam ini datang dari mereka yang tidak mau membuka hati untuk filsafat. Kerumitan yang menempel pada filsafat mendukung pendapat mereka. Saya akui belajar filsafat memang rumit, tapi dalam kerumitan itu saya justru jatuh hati. Banyak teman saya yang tidak dari jurusan filsafat juga menyatakan hal yang demikian. Alergi pada filsafat ada pada tahap awal pengenalan. Tapi begitu seseorang masuk kedalamnya, memahami dan kemudian menemukan apa yang ada dalam filsafat, paling tidak, klaim-klaim negatif itu akan memudar. Karena urusan suka atau tidak suka terhadap suatu objek keilmuan itu subjektif, maka orang yang sudah memahami filsafat tidak lantas fanatik terhadapnya.

Untuk pertanyaan pertama, itu adalah pertanyaan yang sifatnya mekanistik dan menyangkut cara pandang umum masyarakat kita. Tentu tidak hanya tertuju pada anak jurusan filsafat, pertanyaan itu saya yakin akan ditujukan pada mahasiswa segala macam jurusan. Bagi masyarakat kita, tujuan kuliah, ya, untuk memperoleh pekerjaan yang mapan. Paling tidak berada pada naungan institusi pemerintahan. Ini jelas penderitaan bagi mahasiswa filsafat, lha wong memang selama ini tidak ada institusi khusus yang menampung mahasiswa jebolan filsafat.

Tapi saya pribadi tidak khawatir. Pada kenyataannya, pengangguran juga tidak hanya berasal dari alumni filsafat. Banyak dari alumni-alumni jurusan lain yang juga nganggur. Fakta tambahannya, teman-teman seangkatan saya juga tidak ada yang nganggur, kok, semuanya bekerja di jalan yang halal.

Jawaban untuk pertanyaan kedua dan ketiga bisa dijawab dengan filosofis. Pada level tertentu, berfilsafat bisa diartikan berpikir. Orang-orang yang mengklaim bahwa belajar filsafat itu mumet atau filsafat itu jadi membuat orang keblinger, tentu telah melakukan proses berpikir sebelum mengeluarkan statement tersebut.

Untuk merespon pertanyaan kedua, jauh-jauh hari saya sudah mengakui bahwa belajar filsafat itu memang mumet. Tapi kalau disuruh memilih, saya akan dengan senang hati memilih filsafat daripada belajar fisika, kimia, atau ilmu-ilmu eksakta yang lain. Jadi mumet itu bukan masalah subjek keilmuan tertentu, tapi tentang hal yang selama ini kita geluti.

Khusus pertanyaan ketiga yang mengklaim anak filsafat itu aneh-aneh, saya biasanya akan bertanya lebih lanjut mengenai dasar klaim itu. Masalah tidak shalat dan tidak puasa, saya akan menyatakan itu sama sekali bukan efek dari filsafat. Tapi karena orang malas saja, malas untuk beribadah. Saya rasa sebagian besar pernah merasakan malas untuk beribadah. Silahkan tanya pada diri sendiri kalau tidak percaya.

Bagi kalangan mahasiswa jurusan lain, klaim aneh-aneh mahasiwa filsafat itu didapat dari beberapa filsuf yang sebagian pernyataannya fenomenal. Saking fenomenalnya, pernyataan tersebut digunakan begitu saja tanpa diteliti sebab kemunculannya. Kita bisa menyebut misalnya Nietzsche dengan Tuhan telah mati, Karl Marx dengan Agama adalah candu, Auguste Comte yang mengatakan bahwa Agama hanya bahan bicaraan Abad Pertengahan atau kalau dalam Islam ada Ar-Razi yang menyatakan Nabi tidak perlu diturunkan. 

Pernyataan para tokoh itu yang menjadikan mereka merasa benar mengklaim filsasat perlu dijauhi. Memang, mereka benar dalam arti bahwa tokoh-tokoh yang saya sebut punya pendapat yang demikian. Namun, klaim ini sangat terbuka untuk dipertanyakan. Misalnya, sekali saja mereka bertanya, Apakah benar anak filsafat sebegitunya itu? Ini merupakan contoh pertanyaan lanjutan jika mereka tidak mau menyelami pemikiran para tokoh yang saya sebut tadi. Bersambung.....

Posko 1 P2M Aengbaja Kenek Bluto. 

Tuhan. Aku Ingin Pulang

 Ketika Lengah dan segala rasa payah mulai terasa, aku dan mungkin mereka teman - temanku merasakan lelahnya dalam menjalani suatu prasyarat lulus kuliah jenjang S1.


Disaat aku duduk tersungkur satu menit saja, pikiranku berkeliaran merefleksikan masa yang berlalu entah kemana arahnya sehingga menemukan titik kebingungan terus - menerus bahkan saat ini akupun bercerita lewat tulisan dalam keadaan bingung sama sekali.


Mengapa hal demikian seringkali terjadi pada saya? Saya memaklumi lantaran nasib saya sebatangkara dan tak punya apa - apa. Ilmu sedikit, keluarga tidak punya, bekal pun tak punya. Saya merenungi nasib yang setiap harinya serba numpang pada teman - teman di posko Praktek Pemberdayaan Masyarakat, yang disingkat P2M.


Sungguh kelucuan terbesar bagi saya pribadi, Sebagai anggota Praktek Pemberdayaan Masyarakat, mengapa tidak.? boro - boro memperdayakan masyarakat sementara nasib sendiri sedang tidak berdaya atau lebih tepatnya tidak baik - baik saja.


Hal demikian yang sering menjadi momok dalam aktivitas saya, sehingga bagi saya ini merupakan tantangan paling besar bagi saya. Sebagaimana rangkaian kata yang pernah aku baca, " tantangan terbesar dalam hidup adalah pikiran kita sendiri ".11


Kembali lagi pada tulisan ini dimulai, Aku ingin pulang!

Ya. Aku ingin pulang tapi entah pulang kemana? Aku sering kali setiap selesai shalat bermunajat kepada sang khaliq, namun di sisi lain pikiranku melayang ke arah nasib sebatangkara. Mungkin bagi kebanyakan orang memahami sebatangkara ialah tidak punya ibu dan bapak, tapi bagi saya, tak punya ibu dan bapak sekaligus tempat tinggal.


Dalam hati kecil saya berkata itu tak penting aku miliki juga rasanya tak mungkin aku bisa wujudkan diwaktu sekarang ini yang masih aktif dan fokus pada jenjang karirku, yaitu sebagai sarjana agama nantinya ketika selesai di wisuda oleh kampus tercinta Institud Disorat Islamiah Al - amien Prenduan.


Mangapa itu tidak penting? Karena aku masih diterima oleh banyak orang dimana ingin aku tinggal, selama saya masih punya bekal, apa itu? Akhlak yang baik bagi sesama serta pada alam sekitarnya.


Disini aku berubah tujuan pulang, Aku ingin pulang kepada Rahmat allah SWT yang sesungguhnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu athaillah al - askandari. " Jangan bergantung pada amal perbuatan, tapi bergantunglah pada rahmatNya". Baginya adalah hakikat dimana kita benar - benar melihat tempat kita yang sesungguhnya.!


Kendati hal demikian adalah yang seharusnya kita tahu dan kita tuju, namun hati kita masih bagai cermin yang belum bisa pantulkan cahaya tuhan sebagaimana mestinya. Hati ini masih banyak percikan kotor yang menempel pada hati kita yang sekian hari kian bertambah sehingga hati ini tak dapat melihat sang khaliq, yaitu Allah SWT.

Bila Mesin Berkuasa, Apalah Daya Manusia?

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berupaya berfikir kritis dengan berbagai metode berfikir sesuai konteknya. Seperti C...