Sabtu, 01 Januari 2022

ULASAN FEMINISME ; sebuah pembukaan cakrawala kebijaksanaan laki - laki dan perempuan


Yunani Kuno dan Jasa-jasa Perempuan yang Terlupakan
Feminisme bukanlah produk yang langsung saja ‘ada’, melainkan sudah menjajaki proses sejarah yang begitu panjang dan tidak mengenakkan. Sebelum di-sounding-kannya pertama kali di abad 18, feminisme sebenarnya telah membentuk embrio jauh-jauh hari. Embrio ini saya tafsirkan sebagai landasan munculnya feminisme itu sendiri. Langkah awal saya dalam tulisan ini adalah menjabarkan kemunculan embrio feminisme yang saya tujukan pada peradaban Yunani Kuno.
Pandangan terhadap perempuan pada masa Yunani Kuno dapat dilihat dari pendapat filsuf yang berpengaruh pada masa itu, seperti yang dikemukakan Plato mengenai konsep manusia perempuan bahwa, perempuan harus diawasi seperti hewan ternak, perempuan sama dengan binatang. Karena perempuan tidak memiliki seni perang maka perempuan tidak perlu mempunyai akses pendidikan, terdefinisi perempuan hanyalah mesin produksi anak. Hal ini berlanjut pada pemikiran Aristoteles bahwa perempuan sama dengan dipimpin, non-rasio dan defect-male Gadis Arivia dalam Toeti Heraty (2013: 217).
Dalam pernyataan tersebut sebenarnya sedikit banyak menggambarkan bagaimanakah perempuan di Yunani Kuno diperlakukan, utamanya di Athena, ruang gerak perempuan sangat sempit dan dipandang sebelah mata. Bagi saya, pandangan terhadap perempuan hampir sejajar sebagaimana budak pada masa itu. Perempuan dipandang sebagai penyedia jasa dan harta milik saja, sehingga tidak berhak mendapat hak-hak sebagaimana laki-laki merdeka. Konsekuensinya, hak sebagai warga sipil berupa pemenuhan pendidikan dan berpolitik tidak mereka dapatkan.
Ironinya pandangan terhadap perempuan dari kacamata laki-laki merdeka ala Yunani Kuno terkesan dangkal, karena pada umumnya perempuan dipandang hanya dari segi ‘ketubuhannya’ saja. Berdasarkan pandangan inilah, keinginan bagi kaum perempuan agar keberadaannya turut diperhitungkan muncul.
Cara satu-satunya untuk sukses berkiprah pada masa ini adalah dengan menjadi seorang Hetairai atau pelacur kelas atas yang menurut saya hampir mirip dengan kasus Geisha di Jepang. Setelah menjadi Hetairai, barulah mereka dapat dihargai dikalangan negarawan dan filsuf. Hetairai yang paling terkenal pada masa ini adalah Aspasia yang dimiliki oleh Priscles (orator dan negarawan). Bukti kepopuleran Aspasia adalah dengan diabadikannya patung Aspasia di gerbang Universitas Athena. Gadis Arivia dalam Toeti Heraty (2013:227).
Hetairai bagi seorang perempuan pada masa ini merupakan sebuah anugerah yang diperebutkan, sehingga tidak mudah menjadi Hetairai yang diidolakan, tidak cukup hanya cantik namun juga memiliki banyak kemampuan seperti menari, memainkan alat musik dan kecerdasan berbicara layaknya Aspasia.
Berbicara tentang Athena dan Plato, saya teringat filsuf yang dikenal dengan kisah heroiknya mengenai ‘perjuangan menjunjung tinggi kebijaksanaan’. Tak lain dan tak bukan adalah kisah Socrates, yang rela minum racun daripada memilih kabur dari hukumannya. Tapi, apakah hanya Socrates yang melakukan pengorbanan untuk filsafat? Saya rasa tidak, ada kisah lain yang diwakili oleh perempuan dalam memperjuangkan filsafat sampai akhir (lagi-lagi kurang diperhitungkan).
Kisah Hypatia, filsuf perempuan di era Alexandria abad ke-4 seharusnya juga disejajarkan dalam kisah penting untuk diceritakan di dunia kefilsafatan. Semasa hidup, Hypatia mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan ia sempat menyumbangkan karyanya dalam bidang geometri dan matematika. Namun, sayangnya masa Hypatia hidup tepat dimasa konflik dua agama yang mengharuskan seseorang untuk menganut salah satu agama yang berkonflik.
Hypatia yang merupakan ateis sejati dan mendeklarasikan bahwa yang ia imani hanyalah filsafat, tentu berada dalam masalah besar. Dengan keberaniannya mengatakan demikian, Hypatia dianggap menyimpang dari pandangan orang pada masanya. Dengan tuduhan menyembah berhala, ia dengan sadisnya diadili dimuka umum. tanpa berbusana, berjalan sambil dilempari batu oleh penduduk sampai akhirnya meninggal dunia. (Diangkat dalam sebuah film berjudul Agora, 2009)
Kenyataannya, kisah Hypatia tidak se-booming kisah Socrates. Dalam perkuliahan pun tidak pernah saya dengar seorang dosen menyebut nama-nama filsuf perempuan di era Yunani Kuno, padahal hal ini sangat menarik untuk diselidiki. Semisal Phytagoras yang mengambil ajaran Themistoclea, yang merupakan seorang pemimpin umat dari Delphi. Bahkan Phytagoras pun banyak terpengaruh metafisika
istrinya sendiri, Theano de Crotona. Selain itu pernahkah kita mendengar nama-nama lainnya seperti; Hildegard de Bingen, Christine de Pixan, Anne Conway, Suzanne K. Langer? Saya pun baru tahu sekarang.
Bukankah tidak mengherankan jika dalam proses sejarah yang begitu panjang, perempuan akhirnya menuntut hak yang sama. Saya menangkap, sejauh ini goal yang sebenarnya ingin perempuan perjuangkan adalah pencitraan dirinya sebagai seorang perempuan dari ‘sudut pandangnya’ bukan dari sudut pandang laki-laki, bahwa mereka bisa diandalkan selayaknya laki-laki.
Dominasi Paradigma Patriarki dalam sejarah: Bercermin dari era Yunani Kuno
Kedangkalan era Yunani Kuno dalam menafsirkan perempuan dari kacamata laki-laki, bukan hanya menjadikan filsuf-filsuf perempuan atau perempuan pada masa itu kehilangan haknya, namun juga mewariskan pensubordinasian perempuan dalam struktur yang patriarkhal. Perempuan disini tampak harus memenuhi segala macam standar yang ditentukan oleh laki-laki (atau oleh struktur yang menguntungkan laki-laki). Nilai standar itu merupakan realitas obyektif yang meminta kepatuhan-kepatuhan sehingga menjadi praktik yang terus menerus berulang di dalam kehidupan sosial (Abdullah, 2001:49).
Dalam pensubordinasian, hubungan antara laki-laki dan perempuan tak lebih dari sekedar hubungan subjek dan objek. Perempuan menjadi objek dalam dunia laki-laki (culture), dan laki-laki sebagai subjek cenderung ingin melestarikan kekuasaannya sebagaimana ‘culture’ tersebut. Implikasinya, laki-laki selalu menjadi dominan dalam aspek apapun.
Tradisi Filsafat Yunani Kuno bagaikan sebuah benih yang akhirnya menjadi pohon yang lama kelamaan tumbuh memanjang, membesar dan beranak pinak. Artinya, dari pemikiran Filsuf laki-laki era Yunani kuno mengenai kedudukan perempuan ditengah masyarakat, telah menjadi stereo tipe yang kental. Bahwa apa yang dikatakan Plato tentang perempuan itu lemah dan hanyalah mesin produksi atau Aristoteles tentang perempuan= defect male, akhirnya berakibat perempuan pada masa selanjutnya tak lebih dari sebuah ‘alat pemuas’ atau pun juga sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan.
Perempuan akhirnya menjadi korban penindasan dalam banyak hal. Kekerasan, pelecehan seksual dan perdagangan perempuan bukanlah sebuah hal yang
baru dalam kehidupan, karena sifat lemah yang dicantumkan pada perempuan itu tadi, sehingga mudah sekali dikelabui dalam tindakan dominasi yang dilakukan laki-laki.
Pen-stereotip-an yang selanjutnya, menjadikan perempuan selalu berada pada pola yang sama. Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja terpusat pada kecendrungan untuk diperintah, dan tentunya yang memerintah adalah laki-laki. Pekerjaan-pekerjaan ini semisal; sekretaris, resepsionis, waitress, atau pembantu rumah tangga dll.
Ketika saya masih kecil, tertanam pendidikan dari orang tua yang menyebabkan anak-anak wanita tidak terlalu berambisi menjadi wanita karier. Tidak ada pilihan hidup bagi gadis-gadis selain menjadi istri dan ibu bagi suami dan anak-anaknya kemudian. Banyak keluarga yang mengejek anak perempuan menjadi juara kelas tapi tidak dapat menanak nasi…. Keluarga yang mempunyai gadis sangat khawatir apabila anak-anaknya tidak dapat mendapat jodoh. Rupanya prestasi tertinggi nilainya bagi seorang wanita adalah apabila ia berhasi menikah dan mempunyai anak. Tedjakusuma dalam Irwan Abdullah (2001:108).
Sosialisasi semacam itu membenarkan, bahwa perempuan berdasarkan pengaruh sosial budaya yang mengakar telah terbatasi dari pilihan-pilihan hidup yang lain, seakan-akan eksistensi perempuan telah mutlak menjadi perempuan, dengan kategori atau kecenderungan yang identik (masak, dapur, mengurus anak, diperintah, lemah, ditindas, tidak penting dll).
Kondisi-kondisi serius inilah yang menjadikan latar belakang para feminis akhirnya melakukan pergerakan perempuan tahun 1800-an dengan tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft, Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton, yang berani berbicara tentang posisi perempuan yang tertinggal, miskin, dan buta huruf serta tidak memiliki hak-hak sipil. Pergerakan awal dengan demonstrasi ini pada akhirnya menyebabkan 200 perempuan ditahan. Tapi, yang jauh lebih penting dari itu semua adalah, seratus tahun setelahnya, perjuangan perempuan nyatanya terus berlanjut. Dalam hal ini perjuangan pergerakan perempuan tidak dapat dipandang stagnan begitu saja, melainkan dinamis mengikuti isu-isu ketidakadilan yang muncul. Gadis arivia dalam Toeti Heraty (2013: 220).
Saya, sebagai perempuan[.]
“Disatu sisi saya ingin otonom, disisi lain saya ragu untuk berotonom sebagai perempuan”
Tidak adil jika hanya membenarkan anggapan sepihak tentang pendefinisian perempuan, yang bukan dari pihak perempuan itu sendiri. Bagaimanapun juga kita membutuhkan sudut pandang alternatif dalam melihat perempuan, maka dalam hal ini menjadi penting bagi perempuan dalam menyuarakan pandangannya mengenai dirinya sendiri kepada dunia, sebagai bentuk konfirmasi terhadap paradigma yang telah terbentuk selama proses sejarah yang diperhitungkan sejak era Yunani Kuno.
Filsuf perempuan yang saya kenal melalui sebuah film eksistensialis adalah Simone de Beauvoir. Dialah yang banyak diperhitungkan dalam pembahasannya mengenai perempuan, dengan pertanyaan mendasar yang asik mengenai ‘apa itu perempuan?’, membuat saya berfikir lagi mengenai apa itu saya (sebagai perempuan). Bahwa sebenarnya sayapun meragukan apa itu perempuan? Adakah makhluk bernama perempuan? Dan mengapa harus membahas megenai perempuan? Mengapa laki-laki tidak mempertanyakan apa itu laki-laki? Atau menulis buku tentang laki-laki. Mengapa perempuan harus dibedakan?
Dalam penjelasan mengenai perempuan, Simone banyak merembet pada pendekatan eksistensialis dan Hegelian. Bahwa ke-otentitak-an perempuan ditentukan oleh dimana dan kapan mereka hidup, dan dalam hal ini perempuan memilih ke-otentitak-annya. Pengertian ini sangat cocok bagi saya sebagai seorang perempuan, utamanya yang hidup di kultur timur. Lingkungan saya sangat mempegaruhi saya tentang bagaimana seorang perempuan harusnya bertingkah, saya tidak biasa dengan berfikir ala kebarat-baratan, karena saya hidup disini dan saya merasa telah menentukan ke-ontitak-an saya dengan tidak terpaksa.
Dilain sisi, tidak mungkin saya menutup diri tentang betapa pentingnya para pemikir feminis yang memperjuangkan hak perempuan. Dan sebagai perempuan, saya pun tidak ingin membiarkan adanya pen-stereotip-an yang akhirnya menjadikan perempuan sebagai korban penindasan, hanya karena faktor biologis yang dibawa perempuan.
Dalam konteks ini, saya teringat, suatu waktu, ketika mewawancarai seorang waria di ponpes senin-kamis. Dia kurang lebih mengatakan “memangnya roh itu berjenis kelamin? Tidak kan? Jadi manusia itu ya sama saja mbak”. Saya berfikir, mengapa waria bisa menjadi keperempuan-perempuanan? Padahal secara biologis mereka lahir dengan fisik laki-laki.
Bisa saja seorang perempuan menjadi kelaki-lakian walaupun dia terlahir sebagai seorang perempuan. Maka, tidak adil untuk mengatakan perempuan harus
dibedakan karena fisiknya yang lemah, toh, laki-laki juga banyak yang lemah dan perempuan tidak sedikit yang lebih kuat dari laki-laki. Pen-stereotip-an ‘perempuan itu lemah’ bagi saya yang akhirnya menjadikan perempuan benar-benar merasa dirinya lemah dan identik dengan manja, hemat saya, manusia pada dasarnya memiliki kemampuan yang sama.
Meminjam kata John Locke tentang ‘tabula rasa’ bahwa setiap manusia lahir bagaikan kertas putih yang bersih, tinggal bagaimana manusia mengisinya selama proses hidupnya. Maka perempuan yang juga merupakan bagian dari spesies animal rationale seperti layaknya ‘manusia laki-laki’, mereka berhak memilih bagaimana mereka mendefinisikan dan mengarahkan diri mereka dalam hidupnya.
Saya setuju dengan pandangan feminis mengenai culture and nature. Bahwa penilaian mengenai perempuan dari kacamata laki-laki yang hanya dipandang dari segi ‘ketubuhannya’ adalah sebuah fallacy. Tidak semestinya cara berfikir dan kesimpulan yang didapat adalah ‘perempuan harus dibedakan, karena ia memiliki jari yang lentik, dada yang membesar, pinggul yang membesar, dan hanya punya ovum bukan sperma, kalau tidak ada sperma tidak akan ada regenerasi, maka laki-lakilah yang utama’. Apa yang diberikan alam (nature) kepada perempuan tidak seharusnya dijadikan alibi untuk membedakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Karena tidak ada yang bisa memilih akan lahir dengan jenis kelamin apa, bahwa gender adalah sebuah keniscayaan.
Saya merasa agak lucu ketika mendengar pernyataan teman saya dalam obrolan santai. Mereka kaum laki-laki yang merasa tidak terima dengan penyetaraan gender, lantas akan mengatakan hal yang kurang lebih sama, semisal
“perempuan itu mau enaknya saja, semuanya ingin disetarakan, yasudah kalau mau disetarakan semua, sekarang kalau ada bagian kerja berat tidak usah manggil-manggil kami, kalau bagian benerin genteng tidak usah manggil kami. Lagipula kalau perempuan dan laki-laki setara, sama saja menikah dengan sesama jenis……” .
Saya hanya bisa mengatakan, bahwa anggapan seperti ini adalah anggapan orang awam yang mempermasalahkan keniscayaan tanpa tahu apa itu keniscayaan, dan otomatis mereka tidak mengerti mengenai apa yang mereka bicarakan. Karena dalam feminisme, yang saya yakini adalah pembahasan mengenai ranah culture yang mengarah pada perlawanan budaya partriarkhal bukan nature sebagai kodrat perempuan.
Feminisme bukanlah sebuah paham yang sempurna. Feminis liberal mencetak wanita karir yang sejatinya banyak bekerja diluar rumah, tapi anehnya mereka mempekerjakan pembantu rumah tangga yang juga perempuan untuk menggantikan perannya dirumah, lebih anehnya lagi feminis liberal mengklaim untuk membela semua jenis karir bagi perempuan, termasuk menjadi pelacur bahkan juga mendukung ibu yang mengkomersilkan rahimnya. “semua berhak melakukan semua dan harus dibela” yang artinya membela wanita yang melecehkan dirinya sekalipun. (Fahmy, 2012: 238).
Sedangkan Feminis marxis yang merupakan reaksi terhadap feminis liberal, menolak segala praktek kapitalisme, karena terbukti kapitalisme melahirkan sistem patriarkhal baru. Adagiumnya tidak jauh-jauh dari ‘penghapusan kelas sosial’. Selanjutnya, yang jauh lebih ekstrim dan menghawatirkan adalah feminis radikal, karena kekecewaan feminis radikal terhadap perlakuan perempuan yang hanya dipandang sebagai ‘alat pemuas’, akhirnya diekspresikan dengan keniscayaan lesbianisme, bahwa perempuan tanpa laki-lakipun dapat memuaskan dirinya sendiri. belum cukup dengan lesbian, feminis radikal dengan dukungan dari feminis kultural sepakat untuk menghapus institusi keluarga.
Setelahnya, feminis psikoanalisis dan gender tak kalah konyol dengan melakukan pendekatan psikologi biologis menggugat konstruksi gender secara sosial dan biologis. Laki-laki dominan bukan karena faktor biologis, tapi sebab konstruksi sosial. Maka konstruksi sosial ini harus diubah. Kalau perlu laki-laki bisa hamil dan menyusui dan perempuan bisa menjadi pemimpin laki-laki. (Fahmy, 2012:240).
Kiranya itulah beberapa pandangan yang menurut saya kurang pas dan cenderung mematahkan semangat feminis itu sendiri. Bahkan dengan aliran-aliran yang muncul dalam tubuh feminisme, justru mempertontonkan pada dunia bahwa perempuan adalah ‘benar’ sebagai makhluk yang mudah terpancing amarahnya, atau dengan kata lain sebagai makhluk yang sensitif dan tidak dapat berpikir matang. Maka dalam hal ini sayapun sebagai perempuan bingung untuk memposisikan diri saya sebagai pihak yang pro atau kontra. Saya lebih suka memposisikan diri saya sebagai perempuan yang mendukung semangat feminis ke arah positif namun tidak segan mengkritisi feminis, juga tidak terpengaruh perihal pemihakan aliran dalam feminis itu sendiri. Bagi saya yang terpenting adalah, bagaimana perempuan tidak lagi dipandang sebagai yang kedua dalam bersuara dan berfikir.

Referensi:
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan reproduksi kekuasaan. Yogyakarta:
Tarawang Press.
Fahmy, Hamid. 2012. Misykat: refeleksi tentang westernisasi, liberalisasi dan islam.
Jakarta: Insist-Miumi.
Garvey, James. 2010. 20 Karya filsafat terbesar. Yogyakarta: Kanisisus.
Heraty, Toeti. 2013. Berpijak pada filsafat. Jakarta: Komunitas Bambu.
http://historia.co.id/artikel/kuno/983/Majalah-Historia/Hetairai,_Pelacur_Athena

Tidak ada komentar:

Bila Mesin Berkuasa, Apalah Daya Manusia?

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berupaya berfikir kritis dengan berbagai metode berfikir sesuai konteknya. Seperti C...