Selasa, 11 Januari 2022

Makalah Jacques Derrida

KRITIK PENGETAHUAN FILSAFAT POSTSTUKTURALISME

(*DEKONSTRUKSI[1] JACQUES DERRIDA


BAB I

PENDAHULUAN

A    Latar Belakang

Jacques Derrida secara terbuka mengkritik para filsuf Barat, terutama kritik dan analisisnya tentang makna bahasa, tulisan, dan konsep "alami".[2]. Dekonstruksi merupakan alat yang digunakan untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. Saya akan memulai penjelasan mengenai konsep dekonstruksi dengan memberikan sebuah contoh dari implementasi dekonstruksi sederhana. Anda pasti tahu Batman?. Seorang pahlawan dari kota Gotham, yang diciptakan oleh ilustrator Amerika, Bob Kane, pada tahun 1938. Batman berbeda dengan Superman. Jika Superman menegakkan kebenaran dan keadilan yang dilandasi semangat cinta dan keikhlasan, maka sebaliknya Batman dengan tangan kosong menegakkan kebenaran setelah kedua orangtuanya dibunuh, yang tidak lain dapat saya katakan jika Batman memulai “kariernya” itu dengan melakukan pembalasan dendam. Nah, kepada Batman inilah, terminologi Derrida dapat dianalogkan.

Batman telah “mendekonstruksi” konsep pahlawan selama ini. Konsep pahlawan yang selama ini dianggap sesuatu pekerjaan tulus, tanpa latarbelakang “pembalasan dendam” yang mendasarinya, didekonstruksi oleh Batman. Secara singkat, ia mendekonstruksi konsep yang selama ini kita terima sebagai sesuatu yang sudah jelas dan baku dihadapkan dengan antitesisnya. Jadi, bukan hanya kemalangan atau kekejaman yang ternyata diperlukan untuk menyediakan peluang bagi heroisme, namun juga kualitas inheren di dalam tindak kepahlawanan, sama seperti ketika Batman menggunakan kekerasan untuk mengalahkan musuh yang hendak menuntut keadilan kepadanya, seperti Joker.

    Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya. Bahkan, karena teori ini sulit untuk dimengerti, timbul banyak kontroversi dan kritik terhadapnya. Toh, tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan santai, bahkan ia mengatakan, “Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan atau seorang dokter yang tidak dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang yang berbicara dengan sebuah bahasa asing[3]. Tetapi, mengapa kita nampaknya selalu meminta filusuf untuk berbicara secara “mudah” dan bukannya kepada para ahli-ahli tersebut yang bahkan lebih susah lagi untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”. Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosanya yang sulit untuk ditembus. Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya.

Dalam kaitanya dengan kehidupan sehari-hari saya akan memberikan contoh lain yang sangat berkaitan. Misalnya, Anda menganggap agama yang Anda anut merupakan sebuah “agama sempurna”. Jika suatu hari Anda/orang lain tiba-tiba mempertanyakan salah satu bagian agama itu, atau bahkan mungkin meragukannya, maka Anda harus mempertimbangkan kembali kesempurnaan agama Anda itu. Setidaknya, Anda harus kembali mendefinisikan konsep sempurna itu, karena bagaimana pun, konsep kesempurnaan agama Anda itu sudah menjadi tidak sempurna lagi.

Konsep yang tidak sempurna inilah yang menjadi satu-satunya konsep yang Anda miliki, karena pada waktu yang bersamaan akan selalu ada kemungkinan bagi sebuah pemaknaan bahwa agama Anda itu ternyata bukanlah “agama sempurna”. Menurut dekonstruksi, kita tidak akan dapat mencapai titik definitif dari konsep-konsep kita. Sama halnya jika Anda berdebat mengenai penyebab dan efek kebakaran. Anda menduga-menduga kapan api itu menjalar (penyebabnya) atau efeknya. Namun setelah Anda merenungkannya sejenak, akan didapati jika perbedaan antara “sebelum” dan “setelah” tersebut terdiri dari satu titik yang terlalu sukar utnuk dipadatkan dan dibagi menjadi dua (menjadi “sebelum” dan “sesudah”). Ini juga berlaku pada kata-kata, ia terlihat sarat makna jika terdengar di telinga, tetapi tiba-tiba ia seolah-olah hanya menjadi sekam saat kita jumpai, ketika maknanya lenyap ditelan oleh metafora dan sinonim-sinonim belaka.

Dari penjelasan di atas ini yang melatarbelakangi menariknya untuk di explorasi dan dikaji teori-teori Jacques Derrida dan pendekan-pendekatannya dalam makalah ini.

B    Rumusan Masalah

a.    Riwayat Hidup

b.    Dekonstruksi

c.    Difference

d.   Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran



BAB II

PEMBAHASAN

a.    Riwayat Hidup

Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Al-jazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004[4].

Derrida dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian[5].

Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19. Ia kemudian pindah dari Aljazair ke Perancis, dan segera sesudahnya ia mulai berperan utama di jurnal kiri Tel Quel[6].

Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.

Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat[7].

Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian budaya, di mana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man.

Dekonstruksi sering menjadi subyek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor honoris causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, yang sering mengeritiknya.

Bagaimanapun, dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekonstruksi memang telah menantang filsafat tradisional lewat berbagai cara penting. Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah différance dan dekonstruksi.





b.   Dekonstruksi

Dekonstruksi memang kata yang sulit untuk didefinisikan, dan Derrida sendiri menolak untuk mendefinisikannya. Namun menurut Derrida dekonstruksi bukanlah sebuah motode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Inti dari dekonstruksi ini berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi adalah semua yang ditolaknya. Konsep ini memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam logosentrisme[8].

Derrida menganalogikan Dekonstruksi dengan sebuah contoh dari sejarah filsafat di dalam cerita Phaedrus. Katanya, Plato menceritakan mitos mengenai seorang raja Mesir Thamus yang ditawari oleh dewa Thoth kreasinya yang berupa tulisan. Tetapi, Thamus menolaknya. Ia menilai jika tulisan lebih mempunyai banyak potensi bahaya melebihi manfaatnya bagi manusia. Memang, tulisan dapat menawarkan sebuah ingatan kultural dan intelektual yang semakin sulit dikalahkan oleh waktu yang melebihi penurunan informasi secara turun-temurun melalui tradisi oral. Tetapi karena kemudahan untuk menyerap informasi dari tulisan inilah, maka kemampuan memori manusia mulai merosot. Guru-guru mulai menjadikan buku (tulisan) sebagai penuntun bagi murid-muridnya di mana tanpa mereka, murid-murid dapat mengalami misingterpretasi terhadap apa yang telah diajarkan oleh gurunya.

Pengistimewaan ucapan di atas tulisan seperti ini merupakan prasangka endemik dalam tradisi filsafat dan agama Barat. Derrida melihat jika Plato dalam Phaedrus jatuh dalam metafora-metafora yang ada dalam praktik penulisan. Hal-hal yang dianggap positif dalam cerita seperti ucapan, memori hidup, dan kehadiran guru didefinisikan berdasarkan perbedaan kontrasnya dengan hal-hal yang mengancam mereka. Ucapan, contohnya, bukan sesuatu yang berbeda secara fundamental dengan tulisan, melainkan hanya representasi dan semacam tulisan “yang baik”, yang tertulis dalam “jiwa para siswanya”. Plato dapat menggunakan berbagai macam metafora untuk menjelaskan filsafatnya, tetapi tanpa metafora sekalipun, tetap saja, menurut Derrida mereka setara dengan membaca teks belaka. Mudahnya, bagaimana tulisan dapat mengunci dengan kuat bunyi/kata yang keluar dan mereka ucapkan. Derrida menolak anggapan jika makna mempunyai korespondensi ideal antara bunyi sebuah kata dengan subjek dan makna yang dikandungnya. Menurut Derrida, relasi merupakan objek yang arbiter, yang berubah-ubah menurut waktu.

Pendekatan dekonstruktif lebih menyoroti isi teks agar ia dapat menyingkapkan makna yang seharusnya literal namun telah termanifestasi ke dalam berbagai metafora maupun perwujudan kata-kata. Tujuan dekonstruksi bukan untuk menjembatani dua jurang yang ada itu antara kata dan makna, melainkan hanya untuk menunjukkan jika jurang itu memang sudah seharusnya ada dan tidak dapat dielakkan lagi.

Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”. Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas.

Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari destruksi Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti “untuk menunda”sinonim dengan kata men-dekonstruksi.

Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida, yaitu[9]:

1. Dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan;

2.  Dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks;

3. Dekonstruksi bukan suatu operasi, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpret.


c.    Differance

Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda.” Kita tak bisa membedakan differance dan difference hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini Derrida[10].

Derrida menunjukkan kelemahan dari ucapan untuk mengungungkapkan makna dengan menggunakan kata différance. Differance berasal dari kata difference yang mencakup tiga pengertian, yaitu:

1. to differ– untuk membedakan, atau tidak sama sifat dasarnya;

2. differe (Latin)– untuk menyebarkan, mengedarkan;

3. to defer– untuk menunda.

Dalam pengucapannya tidak terdengar perbedaan tetapi perbedaan pemakain huruf ‘a’ untuk mengganti huruf ‘e’ hanya terlihat dalam tulisan. Ini dilakukan Derrida untuk menunjukkan peleburan makna dari tiga pengertian dalam kata difference yang tidak dapat dilakukan oleh logosentrime[11] dan fonosentrisme[12]. Melalui tulisan terjadi otonomisasi teks[13].

Menurut Derrida bahasa bersumber pada teks atau “tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang maksimal karena tulisan tidak hanya terdapat dalam pikiran manusia, tetapi konkret di atas halaman. Tulisan memenuhi dirinya sendiri karena tulisan terlepas dari penulisnya begitu ia berada di ruang halaman. Ketika dibaca, tulisan langsung terbuka untuk dipahami oleh pembacanya.

Différance adalah istilah yang diusulkan oleh Derrida pada tahun 1968 dalam hubungannya dengan penelitiannya tentang teori Saussurean dan teori bahasa strukturalis. Derrida menginginkan untuk memisahkan perbedaan menurut akal sehat yang bisa dikonsepkan dengan perbedaan yang tidak dikembalikan kepada tatanan yang sama dan menerima identitas melalui suatu konsep. Perbedaan itu bukan suatu identitas dan juga bukan merupakan perbedaan dari dua identitas yang berbeda. Perbedaan perbedaan yang di-tunda (defer) karena dalam bahasa Prancis, kata kerja yang sama (diffèrer) bisa berarti membedakan (to differ) atau menangguhkan. Konsep différance ini muncul ketika Derrida mencoba menemukan bagaimana bahasa mempunyai arti, Ia tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh kaum modernis yang sering keliru karena meletakkan ”arti” dalam kekuatan rasio dan kalimat manusia dipakai untuk menggambarkan realitas yang sebenarnya[14].

Derrida mengkritik kaum modernis karena mereka menganggap tulisan sebagai cermin dari ucapan. Kritik Derrida ini terutama ditujukan pada fenomenologi-nya Husserl, dimana Husserl melakukan tindakan pembaharuan terhadap cita-cita modern untuk menciptakan suatu dasar mutlak yang menopang rasio dan bahasa. Husserl mencoba menemukan struktur asal dari pikiran dan persepsi. Baginya usaha itu berhasil karena menggunakan pengetahuan yang muncul dari ”kehadiran-diri”. Dalam karya Husserl, pembedaan yang paling utama adalah pembedaan antara bahasa ”ekspresif” dan ”indikatif” dimana kode ekspresif memuat maksud pribadi, sementara kode indikatif tidak memuat maksud pribadi dan hanya menunjuk pada sesuatu.

Titik berangkat kritik Derrida terhadap Husserl terutama ditujukan pada logika kehadiran. Untuk mengkritik itu maka Derrida menggunakan différance. Derrida menyerang pendapat Husserl dimana arti dalam terletak dalam kesadaran pribadi, dan terikat pada konteks serta tidak dapat berdiri sendiri. Bagi Derrida sebuah kata tidak mempunyai arti yang tetap dalam dirinya. Lewat différance Derrida juga ingin mengkritik tradisi barat yang mengatakan bahwa tulisan hanyalah gambaran atau representasi dari ucapan manusia karena ucapan lebih langsung sifatnya dibandingkan dengan tulisan.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai konsep différance, berikut ini ada 4 definisi yang menjelaskan hal ini[15]:

1.  Différance adalah sebuah gerakan (aktif atau pasif) yang terdiri dari penundaan, keran penundaan, prutusan, penundaan hukuman, penyimpangan, penangguhan, penyimpanan. Dalam arti ini Différance tidak didahului oleh satuan yang asli dan individual dari kemungkinan dan atau kemungkinan hadir yang kita tempatkan pada penyimpanan. Kehadiran dinyatakan atai diinginkan dalam sifat representatifnya, tandanya atau jejaknya. Dalam hal ini différance merupakan penundaan atau penagguhan, tetapi masih tetap tanpa ekstase waktu.

2. Gerakan différance adalah akar umum dari semua pertentangan konsep-konsep di dalam bahasa, dalam hal ini différance tetap merupakan unsur yang sama yang menimbulkan pertentangan atau perlawanan tersebut.

3. Différance yang menghasilkan perbedaan, adalah syarat dari semua makna dan struktur. Perbedaan-perbedaan yang dihasilkannya itu adalah akibat dari adanya différance itu sendiri. Perbedaan-perbedaan itu ada secara nyata, bukan ada dalam khayalan. Karena itu konsep différance bukanlah sekedar struktural aau genetik saja, dan juga différance bukanlah sebuah konsep yang hanya sederhana saja.

4. Différance adalah berbeda secara khusus, tetapi perbedaan in secara ontologis benar-benar ada dan tampak. Dalam arti différance dan dekonstruksi sering terlihat sama. Dekonstruksi membatalkan ekspresi ganda seperti dalam ucapana atau penulisan.


d.   Dari Oposisi Biner[16] ke Metafisika[17] Kehadiran

Untuk memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda[18].

Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole.

Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/sensible, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.

Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.

Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.

Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna[19].

Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis –sebagai sekadar representasi dari ujaran-- hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.

Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan[20].

Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.

BAB III

PENUTUP

a.    Kesimpulan

1.    Riwayat Hidup

Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada Tahun 2004.

2.    Dekonstruksi

Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi bukanlah sebuah motode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Inti dari dekonstruksi ini berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi adalah semua yang ditolaknya. Konsep ini memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam logosentrisme.

3.    Difference

Différance adalah istilah yang diusulkan oleh Derrida pada tahun 1968 dalam hubungannya dengan penelitiannya tentang teori Saussurean dan teori bahasa strukturalis. Derrida menginginkan untuk memisahkan perbedaan menurut akal sehat yang bisa dikonsepkan dengan perbedaan yang tidak dikembalikan kepada tatanan yang sama dan menerima identitas melalui suatu konsep. Perbedaan itu bukan suatu identitas dan juga bukan merupakan perbedaan dari dua identitas yang berbeda. Perbedaan perbedaan yang di-tunda (defer) karena dalam bahasa Prancis, kata kerja yang sama (diffèrer) bisa berarti membedakan (to differ) atau menangguhkan. Konsep différance ini muncul ketika Derrida mencoba menemukan bagaimana bahasa mempunyai arti, Ia tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh kaum modernis yang sering keliru karena meletakkan ”arti” dalam kekuatan rasio dan kalimat manusia dipakai untuk menggambarkan realitas yang sebenarnya

4.    Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran

Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.


b.   Rekomendasi

Demikian, makalah yang kami tulis jauh dari sempurna, kritik konstruktif dari para pembaca kami harapkan demi kesempurnaan dalam penulisan-penulisan selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA


Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filasat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Maksum, Ali. 2011. Pengantar Fislafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta : ar-Ruzz Media

Norris, Christopher. 2006. Decnstruction: Teory and Practice. Terj. Inyak Rdwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Powell, Jason. 2006. Jacques Derrida: A Biography. London: Continuum.

Q-Anees, Bambang.. 2003. Filsafat Untuk Umum. Jakarta : Prenada Media

Zubaedi. 2010. Filsafat Barat : Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomat Kuhn. Jogjakarta : ar-Ruzz Media.





[1]     Dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Ia lebih dekat dengan pengertian etimologi dari kata analisis yang berarti mengurai, melepaskan, membuka dari pada pengertian etimologis kata destruksi dengan tujuan mengungkap hirarki oposisi-oposisi yang implicit dalam teks. Lorens Bagus, Kamus Filasat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005) 213

[2]     Ali Maksum, Pengantar Fislafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme(Jogjakarta:ar-Ruzz.2011). 284

[3]     Norris Christopher. Decnstruction: Teory and Practice. Terj. Inyak Rdwan Muzir (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2006). Hal: 125

[4]     Ibid. Hal: 06

[5]     Jason Powell. Jacques Derrida: A Biography. (London: Continuum. 2006).  149, 158.

[6]     http://id.wikipedia.org/wiki/jacques_derrida#cite_note_powell

[7]     http://id.wikipedia.org/wiki/jacques_derrida#cite_note_powell

[8]     Ibid. Hal: 61

[9]     ibid. Hal: 75

[10]    Ibid. Hal: 10

[11]    Logosentrisme adalah cara berfikir dimana kebenaran memiliki kodrat spiritual, lantas jadinya, secara prinsipil, mampu untuk ditatap oleh mata pikiran (yang secara prinsipil juga berkodrat spiritual). Dalam logosentrisme, Tuhan berfungsi sebagai referensi transendental yang menjamin makna yang stabil bagi segala ucapan dan pikiran mengenai Tuhan. Bisa dilihat di : http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081218223859AA7rzjt

[12]    Istilah lain yang berkaitan dengan Fonologi antara lain fona, fonem, konsonan, dan vokal. Fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti, sedang fonem ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf. Unluk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu : 1.udara, 2.artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak, dan 3.titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator. Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan. Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan, dalam hal ini yang dimaksud dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator. Bisa dilihat di : http://id.wikipedia.org/wiki/Fonologi (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

[13]    ibid. Hal: 71

[14]    ibid. Hal: 08

[15]    http://id.wikipedia.org/wiki/jacques_derrida#cite_note_powell

[16]    Oposisi biner adalah hierarki kekuasaan yang dimanifestasikan dalam konsep oposisi biner (binary oppositions). Istilah ini mengacu pada semacam dikotomi di mana masing-masing pasangan yang beroposisi memerlihatkan struktur dominasi terhadap oposisinya. Bisa dilihat di : http://bahas.multiply.com/journal/item/66/Iklan-dan-Pengekalan-Wacana-Oposisi-Biner

[17]    Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?

Bisa dilihat di :http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika

[18]    http://www.ic.arizona.edu/ic/mcbride/theory/305struct.htm

[19]    Ibid : Hal. 60

[20]    Ibid : Hal. 285 

Sabtu, 01 Januari 2022

ULASAN FEMINISME ; sebuah pembukaan cakrawala kebijaksanaan laki - laki dan perempuan


Yunani Kuno dan Jasa-jasa Perempuan yang Terlupakan
Feminisme bukanlah produk yang langsung saja ‘ada’, melainkan sudah menjajaki proses sejarah yang begitu panjang dan tidak mengenakkan. Sebelum di-sounding-kannya pertama kali di abad 18, feminisme sebenarnya telah membentuk embrio jauh-jauh hari. Embrio ini saya tafsirkan sebagai landasan munculnya feminisme itu sendiri. Langkah awal saya dalam tulisan ini adalah menjabarkan kemunculan embrio feminisme yang saya tujukan pada peradaban Yunani Kuno.
Pandangan terhadap perempuan pada masa Yunani Kuno dapat dilihat dari pendapat filsuf yang berpengaruh pada masa itu, seperti yang dikemukakan Plato mengenai konsep manusia perempuan bahwa, perempuan harus diawasi seperti hewan ternak, perempuan sama dengan binatang. Karena perempuan tidak memiliki seni perang maka perempuan tidak perlu mempunyai akses pendidikan, terdefinisi perempuan hanyalah mesin produksi anak. Hal ini berlanjut pada pemikiran Aristoteles bahwa perempuan sama dengan dipimpin, non-rasio dan defect-male Gadis Arivia dalam Toeti Heraty (2013: 217).
Dalam pernyataan tersebut sebenarnya sedikit banyak menggambarkan bagaimanakah perempuan di Yunani Kuno diperlakukan, utamanya di Athena, ruang gerak perempuan sangat sempit dan dipandang sebelah mata. Bagi saya, pandangan terhadap perempuan hampir sejajar sebagaimana budak pada masa itu. Perempuan dipandang sebagai penyedia jasa dan harta milik saja, sehingga tidak berhak mendapat hak-hak sebagaimana laki-laki merdeka. Konsekuensinya, hak sebagai warga sipil berupa pemenuhan pendidikan dan berpolitik tidak mereka dapatkan.
Ironinya pandangan terhadap perempuan dari kacamata laki-laki merdeka ala Yunani Kuno terkesan dangkal, karena pada umumnya perempuan dipandang hanya dari segi ‘ketubuhannya’ saja. Berdasarkan pandangan inilah, keinginan bagi kaum perempuan agar keberadaannya turut diperhitungkan muncul.
Cara satu-satunya untuk sukses berkiprah pada masa ini adalah dengan menjadi seorang Hetairai atau pelacur kelas atas yang menurut saya hampir mirip dengan kasus Geisha di Jepang. Setelah menjadi Hetairai, barulah mereka dapat dihargai dikalangan negarawan dan filsuf. Hetairai yang paling terkenal pada masa ini adalah Aspasia yang dimiliki oleh Priscles (orator dan negarawan). Bukti kepopuleran Aspasia adalah dengan diabadikannya patung Aspasia di gerbang Universitas Athena. Gadis Arivia dalam Toeti Heraty (2013:227).
Hetairai bagi seorang perempuan pada masa ini merupakan sebuah anugerah yang diperebutkan, sehingga tidak mudah menjadi Hetairai yang diidolakan, tidak cukup hanya cantik namun juga memiliki banyak kemampuan seperti menari, memainkan alat musik dan kecerdasan berbicara layaknya Aspasia.
Berbicara tentang Athena dan Plato, saya teringat filsuf yang dikenal dengan kisah heroiknya mengenai ‘perjuangan menjunjung tinggi kebijaksanaan’. Tak lain dan tak bukan adalah kisah Socrates, yang rela minum racun daripada memilih kabur dari hukumannya. Tapi, apakah hanya Socrates yang melakukan pengorbanan untuk filsafat? Saya rasa tidak, ada kisah lain yang diwakili oleh perempuan dalam memperjuangkan filsafat sampai akhir (lagi-lagi kurang diperhitungkan).
Kisah Hypatia, filsuf perempuan di era Alexandria abad ke-4 seharusnya juga disejajarkan dalam kisah penting untuk diceritakan di dunia kefilsafatan. Semasa hidup, Hypatia mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan ia sempat menyumbangkan karyanya dalam bidang geometri dan matematika. Namun, sayangnya masa Hypatia hidup tepat dimasa konflik dua agama yang mengharuskan seseorang untuk menganut salah satu agama yang berkonflik.
Hypatia yang merupakan ateis sejati dan mendeklarasikan bahwa yang ia imani hanyalah filsafat, tentu berada dalam masalah besar. Dengan keberaniannya mengatakan demikian, Hypatia dianggap menyimpang dari pandangan orang pada masanya. Dengan tuduhan menyembah berhala, ia dengan sadisnya diadili dimuka umum. tanpa berbusana, berjalan sambil dilempari batu oleh penduduk sampai akhirnya meninggal dunia. (Diangkat dalam sebuah film berjudul Agora, 2009)
Kenyataannya, kisah Hypatia tidak se-booming kisah Socrates. Dalam perkuliahan pun tidak pernah saya dengar seorang dosen menyebut nama-nama filsuf perempuan di era Yunani Kuno, padahal hal ini sangat menarik untuk diselidiki. Semisal Phytagoras yang mengambil ajaran Themistoclea, yang merupakan seorang pemimpin umat dari Delphi. Bahkan Phytagoras pun banyak terpengaruh metafisika
istrinya sendiri, Theano de Crotona. Selain itu pernahkah kita mendengar nama-nama lainnya seperti; Hildegard de Bingen, Christine de Pixan, Anne Conway, Suzanne K. Langer? Saya pun baru tahu sekarang.
Bukankah tidak mengherankan jika dalam proses sejarah yang begitu panjang, perempuan akhirnya menuntut hak yang sama. Saya menangkap, sejauh ini goal yang sebenarnya ingin perempuan perjuangkan adalah pencitraan dirinya sebagai seorang perempuan dari ‘sudut pandangnya’ bukan dari sudut pandang laki-laki, bahwa mereka bisa diandalkan selayaknya laki-laki.
Dominasi Paradigma Patriarki dalam sejarah: Bercermin dari era Yunani Kuno
Kedangkalan era Yunani Kuno dalam menafsirkan perempuan dari kacamata laki-laki, bukan hanya menjadikan filsuf-filsuf perempuan atau perempuan pada masa itu kehilangan haknya, namun juga mewariskan pensubordinasian perempuan dalam struktur yang patriarkhal. Perempuan disini tampak harus memenuhi segala macam standar yang ditentukan oleh laki-laki (atau oleh struktur yang menguntungkan laki-laki). Nilai standar itu merupakan realitas obyektif yang meminta kepatuhan-kepatuhan sehingga menjadi praktik yang terus menerus berulang di dalam kehidupan sosial (Abdullah, 2001:49).
Dalam pensubordinasian, hubungan antara laki-laki dan perempuan tak lebih dari sekedar hubungan subjek dan objek. Perempuan menjadi objek dalam dunia laki-laki (culture), dan laki-laki sebagai subjek cenderung ingin melestarikan kekuasaannya sebagaimana ‘culture’ tersebut. Implikasinya, laki-laki selalu menjadi dominan dalam aspek apapun.
Tradisi Filsafat Yunani Kuno bagaikan sebuah benih yang akhirnya menjadi pohon yang lama kelamaan tumbuh memanjang, membesar dan beranak pinak. Artinya, dari pemikiran Filsuf laki-laki era Yunani kuno mengenai kedudukan perempuan ditengah masyarakat, telah menjadi stereo tipe yang kental. Bahwa apa yang dikatakan Plato tentang perempuan itu lemah dan hanyalah mesin produksi atau Aristoteles tentang perempuan= defect male, akhirnya berakibat perempuan pada masa selanjutnya tak lebih dari sebuah ‘alat pemuas’ atau pun juga sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan.
Perempuan akhirnya menjadi korban penindasan dalam banyak hal. Kekerasan, pelecehan seksual dan perdagangan perempuan bukanlah sebuah hal yang
baru dalam kehidupan, karena sifat lemah yang dicantumkan pada perempuan itu tadi, sehingga mudah sekali dikelabui dalam tindakan dominasi yang dilakukan laki-laki.
Pen-stereotip-an yang selanjutnya, menjadikan perempuan selalu berada pada pola yang sama. Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja terpusat pada kecendrungan untuk diperintah, dan tentunya yang memerintah adalah laki-laki. Pekerjaan-pekerjaan ini semisal; sekretaris, resepsionis, waitress, atau pembantu rumah tangga dll.
Ketika saya masih kecil, tertanam pendidikan dari orang tua yang menyebabkan anak-anak wanita tidak terlalu berambisi menjadi wanita karier. Tidak ada pilihan hidup bagi gadis-gadis selain menjadi istri dan ibu bagi suami dan anak-anaknya kemudian. Banyak keluarga yang mengejek anak perempuan menjadi juara kelas tapi tidak dapat menanak nasi…. Keluarga yang mempunyai gadis sangat khawatir apabila anak-anaknya tidak dapat mendapat jodoh. Rupanya prestasi tertinggi nilainya bagi seorang wanita adalah apabila ia berhasi menikah dan mempunyai anak. Tedjakusuma dalam Irwan Abdullah (2001:108).
Sosialisasi semacam itu membenarkan, bahwa perempuan berdasarkan pengaruh sosial budaya yang mengakar telah terbatasi dari pilihan-pilihan hidup yang lain, seakan-akan eksistensi perempuan telah mutlak menjadi perempuan, dengan kategori atau kecenderungan yang identik (masak, dapur, mengurus anak, diperintah, lemah, ditindas, tidak penting dll).
Kondisi-kondisi serius inilah yang menjadikan latar belakang para feminis akhirnya melakukan pergerakan perempuan tahun 1800-an dengan tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft, Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton, yang berani berbicara tentang posisi perempuan yang tertinggal, miskin, dan buta huruf serta tidak memiliki hak-hak sipil. Pergerakan awal dengan demonstrasi ini pada akhirnya menyebabkan 200 perempuan ditahan. Tapi, yang jauh lebih penting dari itu semua adalah, seratus tahun setelahnya, perjuangan perempuan nyatanya terus berlanjut. Dalam hal ini perjuangan pergerakan perempuan tidak dapat dipandang stagnan begitu saja, melainkan dinamis mengikuti isu-isu ketidakadilan yang muncul. Gadis arivia dalam Toeti Heraty (2013: 220).
Saya, sebagai perempuan[.]
“Disatu sisi saya ingin otonom, disisi lain saya ragu untuk berotonom sebagai perempuan”
Tidak adil jika hanya membenarkan anggapan sepihak tentang pendefinisian perempuan, yang bukan dari pihak perempuan itu sendiri. Bagaimanapun juga kita membutuhkan sudut pandang alternatif dalam melihat perempuan, maka dalam hal ini menjadi penting bagi perempuan dalam menyuarakan pandangannya mengenai dirinya sendiri kepada dunia, sebagai bentuk konfirmasi terhadap paradigma yang telah terbentuk selama proses sejarah yang diperhitungkan sejak era Yunani Kuno.
Filsuf perempuan yang saya kenal melalui sebuah film eksistensialis adalah Simone de Beauvoir. Dialah yang banyak diperhitungkan dalam pembahasannya mengenai perempuan, dengan pertanyaan mendasar yang asik mengenai ‘apa itu perempuan?’, membuat saya berfikir lagi mengenai apa itu saya (sebagai perempuan). Bahwa sebenarnya sayapun meragukan apa itu perempuan? Adakah makhluk bernama perempuan? Dan mengapa harus membahas megenai perempuan? Mengapa laki-laki tidak mempertanyakan apa itu laki-laki? Atau menulis buku tentang laki-laki. Mengapa perempuan harus dibedakan?
Dalam penjelasan mengenai perempuan, Simone banyak merembet pada pendekatan eksistensialis dan Hegelian. Bahwa ke-otentitak-an perempuan ditentukan oleh dimana dan kapan mereka hidup, dan dalam hal ini perempuan memilih ke-otentitak-annya. Pengertian ini sangat cocok bagi saya sebagai seorang perempuan, utamanya yang hidup di kultur timur. Lingkungan saya sangat mempegaruhi saya tentang bagaimana seorang perempuan harusnya bertingkah, saya tidak biasa dengan berfikir ala kebarat-baratan, karena saya hidup disini dan saya merasa telah menentukan ke-ontitak-an saya dengan tidak terpaksa.
Dilain sisi, tidak mungkin saya menutup diri tentang betapa pentingnya para pemikir feminis yang memperjuangkan hak perempuan. Dan sebagai perempuan, saya pun tidak ingin membiarkan adanya pen-stereotip-an yang akhirnya menjadikan perempuan sebagai korban penindasan, hanya karena faktor biologis yang dibawa perempuan.
Dalam konteks ini, saya teringat, suatu waktu, ketika mewawancarai seorang waria di ponpes senin-kamis. Dia kurang lebih mengatakan “memangnya roh itu berjenis kelamin? Tidak kan? Jadi manusia itu ya sama saja mbak”. Saya berfikir, mengapa waria bisa menjadi keperempuan-perempuanan? Padahal secara biologis mereka lahir dengan fisik laki-laki.
Bisa saja seorang perempuan menjadi kelaki-lakian walaupun dia terlahir sebagai seorang perempuan. Maka, tidak adil untuk mengatakan perempuan harus
dibedakan karena fisiknya yang lemah, toh, laki-laki juga banyak yang lemah dan perempuan tidak sedikit yang lebih kuat dari laki-laki. Pen-stereotip-an ‘perempuan itu lemah’ bagi saya yang akhirnya menjadikan perempuan benar-benar merasa dirinya lemah dan identik dengan manja, hemat saya, manusia pada dasarnya memiliki kemampuan yang sama.
Meminjam kata John Locke tentang ‘tabula rasa’ bahwa setiap manusia lahir bagaikan kertas putih yang bersih, tinggal bagaimana manusia mengisinya selama proses hidupnya. Maka perempuan yang juga merupakan bagian dari spesies animal rationale seperti layaknya ‘manusia laki-laki’, mereka berhak memilih bagaimana mereka mendefinisikan dan mengarahkan diri mereka dalam hidupnya.
Saya setuju dengan pandangan feminis mengenai culture and nature. Bahwa penilaian mengenai perempuan dari kacamata laki-laki yang hanya dipandang dari segi ‘ketubuhannya’ adalah sebuah fallacy. Tidak semestinya cara berfikir dan kesimpulan yang didapat adalah ‘perempuan harus dibedakan, karena ia memiliki jari yang lentik, dada yang membesar, pinggul yang membesar, dan hanya punya ovum bukan sperma, kalau tidak ada sperma tidak akan ada regenerasi, maka laki-lakilah yang utama’. Apa yang diberikan alam (nature) kepada perempuan tidak seharusnya dijadikan alibi untuk membedakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Karena tidak ada yang bisa memilih akan lahir dengan jenis kelamin apa, bahwa gender adalah sebuah keniscayaan.
Saya merasa agak lucu ketika mendengar pernyataan teman saya dalam obrolan santai. Mereka kaum laki-laki yang merasa tidak terima dengan penyetaraan gender, lantas akan mengatakan hal yang kurang lebih sama, semisal
“perempuan itu mau enaknya saja, semuanya ingin disetarakan, yasudah kalau mau disetarakan semua, sekarang kalau ada bagian kerja berat tidak usah manggil-manggil kami, kalau bagian benerin genteng tidak usah manggil kami. Lagipula kalau perempuan dan laki-laki setara, sama saja menikah dengan sesama jenis……” .
Saya hanya bisa mengatakan, bahwa anggapan seperti ini adalah anggapan orang awam yang mempermasalahkan keniscayaan tanpa tahu apa itu keniscayaan, dan otomatis mereka tidak mengerti mengenai apa yang mereka bicarakan. Karena dalam feminisme, yang saya yakini adalah pembahasan mengenai ranah culture yang mengarah pada perlawanan budaya partriarkhal bukan nature sebagai kodrat perempuan.
Feminisme bukanlah sebuah paham yang sempurna. Feminis liberal mencetak wanita karir yang sejatinya banyak bekerja diluar rumah, tapi anehnya mereka mempekerjakan pembantu rumah tangga yang juga perempuan untuk menggantikan perannya dirumah, lebih anehnya lagi feminis liberal mengklaim untuk membela semua jenis karir bagi perempuan, termasuk menjadi pelacur bahkan juga mendukung ibu yang mengkomersilkan rahimnya. “semua berhak melakukan semua dan harus dibela” yang artinya membela wanita yang melecehkan dirinya sekalipun. (Fahmy, 2012: 238).
Sedangkan Feminis marxis yang merupakan reaksi terhadap feminis liberal, menolak segala praktek kapitalisme, karena terbukti kapitalisme melahirkan sistem patriarkhal baru. Adagiumnya tidak jauh-jauh dari ‘penghapusan kelas sosial’. Selanjutnya, yang jauh lebih ekstrim dan menghawatirkan adalah feminis radikal, karena kekecewaan feminis radikal terhadap perlakuan perempuan yang hanya dipandang sebagai ‘alat pemuas’, akhirnya diekspresikan dengan keniscayaan lesbianisme, bahwa perempuan tanpa laki-lakipun dapat memuaskan dirinya sendiri. belum cukup dengan lesbian, feminis radikal dengan dukungan dari feminis kultural sepakat untuk menghapus institusi keluarga.
Setelahnya, feminis psikoanalisis dan gender tak kalah konyol dengan melakukan pendekatan psikologi biologis menggugat konstruksi gender secara sosial dan biologis. Laki-laki dominan bukan karena faktor biologis, tapi sebab konstruksi sosial. Maka konstruksi sosial ini harus diubah. Kalau perlu laki-laki bisa hamil dan menyusui dan perempuan bisa menjadi pemimpin laki-laki. (Fahmy, 2012:240).
Kiranya itulah beberapa pandangan yang menurut saya kurang pas dan cenderung mematahkan semangat feminis itu sendiri. Bahkan dengan aliran-aliran yang muncul dalam tubuh feminisme, justru mempertontonkan pada dunia bahwa perempuan adalah ‘benar’ sebagai makhluk yang mudah terpancing amarahnya, atau dengan kata lain sebagai makhluk yang sensitif dan tidak dapat berpikir matang. Maka dalam hal ini sayapun sebagai perempuan bingung untuk memposisikan diri saya sebagai pihak yang pro atau kontra. Saya lebih suka memposisikan diri saya sebagai perempuan yang mendukung semangat feminis ke arah positif namun tidak segan mengkritisi feminis, juga tidak terpengaruh perihal pemihakan aliran dalam feminis itu sendiri. Bagi saya yang terpenting adalah, bagaimana perempuan tidak lagi dipandang sebagai yang kedua dalam bersuara dan berfikir.

Referensi:
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan reproduksi kekuasaan. Yogyakarta:
Tarawang Press.
Fahmy, Hamid. 2012. Misykat: refeleksi tentang westernisasi, liberalisasi dan islam.
Jakarta: Insist-Miumi.
Garvey, James. 2010. 20 Karya filsafat terbesar. Yogyakarta: Kanisisus.
Heraty, Toeti. 2013. Berpijak pada filsafat. Jakarta: Komunitas Bambu.
http://historia.co.id/artikel/kuno/983/Majalah-Historia/Hetairai,_Pelacur_Athena

Bila Mesin Berkuasa, Apalah Daya Manusia?

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berupaya berfikir kritis dengan berbagai metode berfikir sesuai konteknya. Seperti C...