Rabu, 03 Maret 2021

SADAR AKAN KONSEKUENSI KENIKMATAN

SADAR AKAN KONSEKUENSI KENIKMATAN


Tatkala  mengamati cita – cita manusia di dunia untuk mencapai kebahagiaan. Ada beragam cara manusia untuk meraihnya. Terlebih dalam merefleksi secara dialogal era Globalisai di Abad 21 nampak jelas memiliki pengaruh yang luar biasa. Dengannya, kita banyak menyita waktu dengan media informasi yang kita miliki, baik dari kalangan pelajar perguruan tinggi, siswa atau siswi bahkan para guru – guru di berbagai sekolah swasta maupun negeri.

Disisi lain kita hidup dikelilingi berbagai alat teknologi mutakhir. Meski sudah disajikan dengan perlengkapan modern akan kebutuhan dan keinginan manusia. sepertinya kita masih mencari sesuatu. Ada sesuatu yang belum atau memang kita tak tahu menuju jalannya. Tentang  satu hal yang tidak jauh dari ritual meraih kebahagiaan yang sedang kita jalani.

Oleh sebabnya, upaya apa untuk meraih kebahagiaan dan varian kebahagiaan macam apa yang sebenarnya manusia kejar?. Jika kebahagiaan kita hanya cukup dengan sekedar makan dan minum, maka setelah perut kenyang tak menjamin kebahagiaan itu diperoleh, atau dengan jejaring “media sosial”. Media sosial yang saya maksud disini yang mengacu pada hal – hal yang kita anggap membahagiakan, padahal sifatnya sementara karena cenderung bergantung pada hal – hal yang diluar diri kita. Maka itupun juga tak menjadi imun kebahagiaan kita sungguh-sungguh diperoleh. 

Pembahasan diatas, jelas ada perbedaan warna dalam sesuatu yang oleh manusia sekarang sukar membedakannya. Yaitu berkenaan dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Buramnya pemahaman  antara keduanya, tidak berbarti salah. Hanya butuh penyadaran bahwa pada dasarnya kenikmatan akan mendorong pada kebahagiaan apabila dibarengi dengan refleksi rasional. Sebaliknya kenikmatan tanpa refleksi rasional, maka bisa berujung petaka terancamnya kesehatan fisik bahkan batin kita. Seperti misal,  makan tetapi refleksi rasional kita tidak bekerja. Refleksi ini berarti kita di ajak memikirkan sejenak sebelum memakan, tentang milik siapa dan bersih tidaknya makanan itu. Jika tidak, akan berkonsekwensi terhadap kesehatan kita.

Di dalam diri kita upaya mencapai kebahagiaan tertinggi perlu kiranya kita memikirkan hidup kita secara serius baik hubungan secara horizontal maupun vertical. Tuhan, manusia dan makhluk hidup lainnya sekaligus. Untuk itu, langkah pertama kita harus menyadari sifat keinginan yang dominan dalam diri kita. Tentang pembahasan ini, seorang filsuf Yunani, Plato, menulis kategori jiwa ke dalam tiga bagian. Yaitu,  Epithumia, Thumos, dan Logostikon.

Menurut Plato, di dalam kategori jiwa memiliki kenikmatannya masing – masing. Kenikmatan Epithumia seperti makan, minum, dan seks atau sosmed. Kenikmatan Thumos seperti nama besar dan kehormatan, citra diri, Logostikon seperti memiliki pemahaman terhadap pengetahuan sejati. Maka jelas sekali selain kenikmatan Logostikon sifatnya sesaat belaka.

Penjelasan singkat seperti diatas, perlunya kita menyadari konsekuensi terkait upaya kita mencapai kebahagiaan hakiki.  Menikmati untuk memperoleh kebahagiaan. dengan kata lain, kebahagiaan diperoleh bukan lantaran kenikmatan sesaat. Wasalam.



Vaksin Penyakit Mental Masa Kini

Vaksin Penyakit Mental Masa Kini


D

unia kedatangan wabah penyakit dan bencana yang bertubi – tubi, tidak harus terlalu jauh kita menatap masa silam. Di tahun 2021 yang berusia 2 bulan ini Banyak hal – hal di luar diri kita mengundang rasa cemas dalam diri kita,

Mayoritas orang – orang dimasa sekarang cemas disebabkan hadirnya bencana alam di berbagai daerah, seperti peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di pulau Seribu pada 9 Januari 2021 lalu.

Lagi - lagi peristiwa dahsyat yang terjadi datang bergantian menyambut tahun 21 ini antara lain;  longsor di Sumedang, Jawa Barat, Banjir di Kalimantan Selatan, Gempa di Sumatera Barat, Banjir serta tanah longor di Sulawesi Selatan, Erupsi gunung Semeru dan Gunung merapi.

Memang pada hakikatnya bencana alam merupakan fitrah alam itu sendiri, kendati demikian soal ulah kita yang tanpa pertimbangan secara serius tentang perilaku kita terhadap alam belum kita laksanakan, oleh sebab itu penggundulan hutan, penebangan pohon secara besar-besaran,  dan sebagainya, masih diperlakukan oleh kita.

Terlepas dari penyebab atas terjadinya bencana tersebut, fenomena alam merupakan bentuk keniscayaan bagi hamba-Nya yang hidup berdampingan dengan alam. Dengannya kita mesti memerlukan kesiapan mental kita untuk menjaga suasana hati kita dari pengaruh luar diri kita. Sehingga kita seolah – olah tidak peka terhadap peristiwa yang terjadi di luar kendali kita. Cara pandang semacam ini saya dapatkan dari para filosof di Zaman Stoa. Beliau memberi kita gambaran untuk menjaga Psikis kita.

Stoicisme adalah ideologi yang diciptakan oleh seorang filsuf bernama Zeno yang berasal dari Citium pada awal abad ke-3. Dari pemikiran Zeno, ada tokoh-tokoh hebat yang menganut filosofi ini. Penganut filosofi ini tidak hanya terbatas pada sebagian orang, bahkan para budak, orang awam sampai kaisar Romawi. Tokoh-tokoh ini berisi kaisar Marcus Aurelius, Epictetus dan Seneca. (Baca-Filosofi Teras).

Setidaknya kita simak Narasi Stoicisme berikut ini ;

Pertama, Filsafat Stoa percaya pada keberadaan kata dan itu adalah sesuatu yang lebih tinggi dari kita, ya Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta memiliki sistemnya sendiri. Untuk ketabahan, jika kita ingin hidup bahagia, kita harus selaras dengan alam.

Ada kekuatan besar di balik semua yang mengaturnya. Jika kita tidak berbuat baik kepada alam, maka tidak heran alam akan memberikan hal yang sama kepada kita, dengan kata lain Karma. Dengan memahami hal ini paling tidak ketika kita berhadapan dengan bencana atau kesulitan, kita memahami bahwa semua ini adalah sebab dan akibat dari tingkah laku kita Terhadap alam, agar kita tidak mudah merasa cemas, terhadap fenomena yang terjadi.

Kedua. Petakan antara dalam diri dan diluar diri. Dalam ajaran Stoisisme Istilah ini dinamakan Dikotomi kendali, Menurut Epictetus yang dikutip oleh Ryan Holiday dan Stephen Hansleman dalam Buku The Daily Stoic menyatakan “kenali kendali diri kita dan kendai di luar diri kita”

“ Ada hal – hal di bawah kendali kita, ada Hal – hal di luar kendali kita” demikian Kata Epictetus, Hal ini penting bagi kita apabila peristiwa mengguncang psikis kita, sehingga kita dapat membedakan apa yang penting dan apa yang cukup kita diamkan. Semisal ada peristiwa yang terjadi di luar diri kita namun merubah perasaan kita; cemas, sakit hati, dll. Jika demikian yang perlu kita kendalikan adalah Respon Emosi kita terhadap peristiwa yang terjadi di luar kendali kita, seperti bencana alam itu sendiri dan perkataan orang lain terhadap diri kita tidak mungkin kita dapat mengendalikan sesuai yang kita inginkan.

Ketiga, Tidak ada peristiwa hidup yang bisa kita sebut “ Baik” dan “Buruk” yang ada hanya interpretasi kita terhadap peristiwa. Begitulah Kira – kira menurut Pandangan Stoisisme. Hal ini senada dengan yang di amalkan oleh Henry Manampiring dalam Filosofi Teras. Jadi saya tegaskan sekali lagi bahwa ”Berfikir Buruk Pada sesuatu Adalah Membuatnya Lebih Buruk”.

Keempat, Marcus Aurelius Sang filsuf Stoicisme menerapkan Prinsip Menerima dengan lapang terhadap kenyataan sekalipun menyakitkan.

Mengapa begitu sulit saat hidup dirasa melawan dirimu? Jika memang peristiwa ini datang dari Alam, maka terimalah dengan lapang dada. Jika tidak, maka cari tahulah apa yang harus kamu lakukan. Kerjakan itu, bahkan jika hal itu tidak memberikanmu kemuliaan” – kata Marcus Aurelius.

Sehubungan dengan itu saya mengutip dialog Filsuf muslim dalam Mastnawi  karya Jalaluddin Rumi. suatu ketika datang seorang hamba yang hidupnya menderita, ia berdoa supaya keluar dari penderitaannya, namun kemudian hari ia mengeluh sebab Doanya tidak terkabulkan. Kemudian sang Rumi menjawab “Mana tahu Tuhan Lebih Suka Tangisanmu daripada kegembiraanmu”.

Kendati demikian, Opini dalam diri manusia berbeda – beda akan tetapi yang terpenting adalah jika datang dari alam maka terima itu dengan lapang. Karena hanya dengan rela menerima jiwa kita akan lebih baik daripada menolak sebuah kenyataan. Namun, jika itu atas kesalahan kita maka cari tahu dan perbaiki sebisa mungkin apa yang dapat diperbaiki oleh kita.

ETIKA, Sebuah Resensi buku K. Bertens


 

Prof. Dr. K. Bertens lahir di Tilburg, Nederland pada tahun 1938. Ilmu itu fokusnya adalah filsafat dan teologi di sebuah universitas di Belanda, lalu filsafat dan psikologi di Universitas Leuven, Belgia. Berten mengajar untuk dua tahun di Belanda, setelah itu pada tahun 1968 Bertens berhasil selesaikan Disertasinya tentang Nicolas Malebranche, filsuf Prancis abad ke-17 Bertens berhasil mendapatkan gelar "doktor filsafat" di Universitas Leuven. Bertens sejak 1968 mengajar filsafat sistematika dan sejarah filsafat di berbagai perguruan tinggi di Indonesia sejak 1983 Bertens juga bekerja sebagai staf di Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya Jakarta, dan pernah menjabat sebagai direktur Universitas Atma Jaya (1984-1995). Selain itu Bertens juga mengajarkan dan memperdalam ilmu etika terapan, khususnya etika bisnis dan etika biomedis, serta mereduksi “Rangkaian Etika Biomedis”. Dia membantu mendirikan “Himpunan Dosen Etik Indonesia” (HIDESI) dan menjadi ketua pertamanya pada tahun 1990 hingga 1997.

Etika sangat dikenal dan dijadikan acuan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia terutama pada dekade 1990-an. Etika sangat bermasalah dalam hal dilema moral berkembang pesat saat ini, masalah moral hadir karena masalah baru lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat maju saat ini, Sebagai efek dari perkembangan ini, tentunya manusia akan terpapar berbagai perilaku moral.

Buku ini terbagi menjadi beberapa bagian yang diawali dengan pengenalan isinya ada bab 1 membahas etika diikuti oleh bagian I tentang tema etika umum yang terdiri dari bab 2, bab 3, bab 4, bab 5 dan bab 6 yaitu tentang hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma, hak dan kewajiban serta menjadi manusia yang bagus. Kemudian dilanjutkan ke bagian II dengan tema teori etika dalam isinya ada bab 7 dengan tema sistem filsafat moral. Bagian III dengan tema pengantar etika diterapkan yang merupakan bagian terakhir dari buku ini yang mana ada bab 8 dengan tema masalah etika terapan dan tantangannya untuk zaman kita.

Dalam buku ini, Prof. Bertens mengajak pembaca untuk menjelajahi seluruh wilayah etika. Pertama, topik klasik seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, tugas dan kebajikan. Kemudian beberapa teori dasar dibahas sejarah filsafat moral: hedonisme, eudemonisme, utilitarianisme dan deontologi.

Pada bab pertama sebagai pengantar buku ini, Bertens menjelaskan berbagai batasan. Tentu saja memahami etika, moralitas, amoralitas dan imoralitas, etika dan etiket. Dengan hal ini memberi pembaca kepemahaman yang komprehensif tentang etika Pengetahuan tentang batas lebih mudah dipahami oleh pembaca pada Tema bab selanjutnya.

Namun jika ada kritik lebih lanjut, pembaca tidak akan menemukan konsep apapun tentang akhlak yang didapat dari kajian para filosof Islam akan terasa kurang lengkap khususnya bagi pembaca yang memiliki wawasan luas tentang Islam.

Tema yang dibahas pada bab pertama ini akan melengkapi pemahaman pembaca saat pembaca membaca bab kedua. Dalam bab kedua ini Bertens menjelaskan tentang hati nurani dengan berbagai variasi dilengkapi dengan contoh-contoh hal demikian itu menggambarkan kesatuan hati nurani yang lengkap. Dalam perspektif Bertens membuat analogi antara pemikiran tentang hati nurani dan perkembangan kesadaran moral dengan teori Sigmund Freud dan Kohlberg.

Penjelasan tentang hati nurani yang dijelaskan dalam bab ini sebenarnya tidak bisa digambarkan sebagai konsep hati nurani yang sebenarnya karena pemikiran Bertens hati nurani menggambarkan pemikiran pada jamannya yang belum tentu sesuai dengan esensi yang terjadi saat ini.

Dalam bab ketiga berikutnya Bertens berbicara tentang aktualisasi diri dari kebebasan manusia. Bertens menjelaskan bahwa manusia memiliki ciri anatomi kebebasan individu yang dibatasi oleh tanggung jawab pribadi dan pribadi tanggung jawab sebagai kelompok. Dalam spektrum yang lebih luas dari konsep kebebasan Menurut Bertens, hal tersebut melahirkan dinamika sosial dan politik, termasuk stratifikasi sosial dan administrasi negara, misalnya kebebasan sosial dicontohkan dengan kebebasan orang versus kekuasaan absolut, kemerdekaan versus kolonialisme. Tidak di bab ketiga menemukan aksiologi dari batasan inheren kebebasan dan tanggung jawab agama samawi lainnya.

Pada bab keempat ini Bertens menjelaskan secara kronik konsep nilai dan norma, secara sekilas perbedaan antara konsep nilai dan norma ini sangat tipis. Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Nilai moral ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggun gjawab. Sebuah nilai moral dapat diejawantahkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang yang bersangkutan, sedangkan Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etika. Karena itulah, Norma tertinggi yang tidak dapat digantikan oleh norma lain adalah norma moral, norma moral dapat menilai norma lain.

Dalam bab ini pembaca akan mengetahuinya Kejelian penulis buku ini bahwa nilai dan norma sebenarnya adalah sebuah konstruksi perilaku manusia yang kompleks, dimensi nilai dan norma yang begitu kompleks, Hal ini berkaitan erat dengan pandangan psikolog bahwa manusia itu adalah makhluk yang tak terhitung jumlahnya.

Bab kelima Bertens menjelaskan eksistensialisme manusia dalam kedua dimensi tersebut pribadi dan sosial yang menciptakan batasan hak dan kewajiban. Baik adalah klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang sah dan dapat dibenarkan, Artinya, orang yang berhak bisa menggugat. "Teori koreasi" diadopsi oleh utilitarianisme, menjelaskan bahwa kewajiban setiap orang terkait dengan hak orang lain dan sebaliknya. Hak yang tidak memiliki kewajiban menurutnya tidak pantas disebut "hak". Batasan antara hak dan kewajiban menciptakan hak hak pribadi dan sosial serta kewajiban pribadi dan kewajiban komunal dimana batas-batas tersebut merupakan mata rantai dalam mata rantai pembentukan peradaban manusia yang hidup. keharmonisan di atas asas hukum, baik konvensi, privasi maupun alam universal dan juga hukum yang relatif atau absolut.

Tema dari Bab enam Proposal Bertens adalah menjadi manusia yang baik. Dalam bab ini Bertens sebenarnya menghadapi masalah identitas dan alam Manusia itu. manusia adalah makhluk moral yang bisa melahirkan mimpi perubahan dan peradaban baru yang bisa dicapai jika manusia bisa Menjadi manusia yang baik, sebenarnya itu adalah harapan yang harus dicapai tidak hanya utopia semata.

Bab ketujuh Bertens mendeskripsikan berbagai fenomena moralitas yang terjadi dalam kehidupan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang tentu saja hal tersebut terbentuk karena adanya pandangan hidup yang berbeda. Pandangan hidup kapitalis akan melahirkan hedonisme maupun bentuk-bentuk pandangan hidup yang melahirkan eudemonisme, utilitarianisme dan deontologi.

Di akhir bab ini, masalah etika terapan dan tantangan bagi mereka dibahas usia kita. Bertens hanya memberikan pengenalan pada etika terapan, artinya etika itu disoroti bidang-bidang tertentu seperti kedokteran, praktik bisnis, lingkungan dll. Pada bagian ini pembaca diajak untuk mengamati dinamika moralitas yang berkelanjutan berkembang dan semakin kompleks seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Di sinilah pembaca harus sampai pada kesadaran bahwa hidup tidak lepas dari nilai-nilai, oleh karena itu perilaku manusia yang baik sebagai individu atau kelompok harus bertumpu pada nilai-nilai etika. Kapanpun menghargai etika dan moralitas tidak dapat diaktualisasikan dalam kehidupan manusia terjadi akan melahirkan kemunduran dan ini merupakan tantangan bagi zaman kita.

Bila Mesin Berkuasa, Apalah Daya Manusia?

Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berupaya berfikir kritis dengan berbagai metode berfikir sesuai konteknya. Seperti C...